• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Diancam Royalti, Cafe Beralih ke Musik AI

    20 Agustus 2025, Agustus 20, 2025 WIB Last Updated 2025-08-20T08:24:30Z
    Masukkan scrip iklan disini


    POSMETRO.ID
    – Suara gitar akustik Jun Manurung mengalun pelan dan merdu, menghibur diri sekaligus sebagian pengunjung di sebuah kafe di Bilangan Padat Karya. Dentingan nada gitar yang menggugah emosi dan terdengar lembut itu seharusnya menghadirkan kehangatan dan kenyamanan. Namun di balik harmoni musik yang mengalun manis, terselip kegelisahan pemilik kafe yang harus memikirkan biaya royalti setiap kursi yang disediakan.



    Musik, yang sejatinya diciptakan untuk menyatukan hati dan menghadirkan kebahagiaan semakin kesini perlahan berubah menjadi beban berat bagi banyak pihak.



    Regulasi royalti membuat banyak pemilik usaha kecil seperti kafe, restoran, hingga tempat hiburan terpaksa merogoh kocek lebih dalam hanya untuk memutar musik. Beberapa bahkan mengaku lebih baik tidak memutar lagu populer daripada harus menanggung biaya royalti yang dianggap tidak masuk akal.



    “Kalau dihitung, bisa sampai ratusan ribu per kursi per tahun. Padahal kami sekadar ingin menghadirkan suasana nyaman untuk pelanggan,” ungkap seorang pengusaha kafe.



    Akibatnya, sebagian tempat memilih memutar musik instrumental atau beralih ke musik bebas royalti agar tidak terkena beban tambahan.




    Investigasi POSMETRO.ID menemukan bahwa masalah ini tak hanya menghantam pelaku usaha, tapi juga pencipta lagu. Banyak musisi besar menyuarakan keresahan. Piyu, misalnya, pernah menyebut hanya menerima ratusan ribu rupiah per tahun, meski lagunya diputar jutaan kali di platform digital. Melly Goeslaw juga mengeluhkan royalti yang jauh dari harapan.



    Di sisi lain, penyanyi tetap bisa dikenal luas karena jumlah pendengar mereka yang banyak, bukan karena besar kecilnya royalti yang masuk ke rekening. Popularitas penyanyi lebih terjaga, sementara pencipta lagu—yang justru melahirkan karya—sering menjadi pihak paling dirugikan.



    Di tengah kondisi ini, bayang-bayang musik buatan kecerdasan buatan (AI) kian mengintai. Musik AI dapat diciptakan cepat, murah, dan bebas dari kewajiban royalti. Jika sistem royalti Indonesia terus berjalan tanpa transparansi dan keadilan, bukan tidak mungkin masyarakat akan perlahan beralih ke musik AI.



    “Kalau musik manusia saja bikin ribet karena urusan biaya, lama-lama orang lebih pilih musik AI yang bebas diputar,” komentar salah seorang pengunjung kafe.



    Beberapa musisi mencoba bersikap lebih longgar. Grup Juicy Luicy misalnya, menilai yang terpenting adalah karya mereka tetap didengar. Namun pernyataan itu justru mempertegas bahwa sistem royalti masih belum berpihak kepada pencipta lagu.



    Ariel (NOAH) bahkan menegaskan, sistem royalti yang membebani justru bisa membuat lagu Indonesia ditinggalkan. “Jangan sampai karya anak bangsa malah kalah dengan lagu asing atau musik lain yang lebih mudah diakses,” ujarnya.



    Kisah gitar akustik Jun Manurung hanyalah potret kecil dari persoalan besar. Musik yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan kini berubah jadi perhitungan bisnis yang membebani. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin musik Indonesia benar-benar akan “mati” karena royalti

    Komentar

    Tampilkan

    Berita Utama