• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Telah Kukubur, Namun ia Bertandang

    30 Januari 2016, Januari 30, 2016 WIB Last Updated 2016-01-30T00:09:46Z
    Masukkan scrip iklan disini
    Patri Hampa

    Melodiku tak lagi kumengerti
    Menjuntai beribu tanya
    Menusuk kalbu di antara remang kelabu
    Takluk akan letih hati
    Namun enggan melempar sauh
    Menggugurkan ego dalam benak
    Namun mengekang tak merajut asa
    Sajak-sajak yang mulai memenuhi langit-langit malam
    Rembulan gompal seakan tersedu
    Menatap sedih kejora seribu
    Susah nian kala nanti tak kunjung kembali
    Semburat kemilau aku temukan
    Apiku membara menyadarinya
    Sungguh melodimu membuat keras batu menjadi lapuk
    Denting suara kaca memecah
    Cerita yang tak pernah ada habisnya
    Kisah yang tak akan pernah ada ujungnya
    Hingga semua mengalir
    Menyisir renung diam
    Menelusur kening berlipat
    Jua geletar tubuh terbungkus syahdu
    Menarikan alam sewindu

    Indralaya, 10 Januari 2015 



    Meredam Kata

    Menggariskan huruf dalam gelap
    Kekal lagi malam melingkar
    Menjejalkan mentari di kaki langit
                Desau angin bernyanyi sendu
                Menampik risau membungkus aksara
                Kian mengarang menceracau
    Api merah meredam dendam
    Berkeras tertahan kejam
    Ia rangkaikan barisan data kejang
                Sejumput bimbang tengah berkejaran
                Meski ia menolak; menutup
                Ia kerdilkan memori usang
                Kala ditemukan kembali
                Nyata bait itu telah memudar; nyaris tenggelam

    Indralaya, 09 Maret 2015 






    Telah Kukubur, Namun ia Bertandang

    Warta kota menatap cahya
    Menghamburkan kata matematika
    Menghangatkan jiwa membeku dalam ranah kelana
    Menaburkan kenangan yang tak berdusta
                Mimpi jenuh kuresap berdesir lagi paksa
                Kutorehkan kalam legam
                Nan diukir guratan mengekang
                Berharap bulirmu membayang
    Duhai, kala aku renungkan garismu
    Ketika diri ini jenguk kembali temu itu
    Kala itu pula jiwa ini terbang dan tenggelam
    Sebongkah kisah kupaksa ‘tuk terkunci
    Namun, berakhir dengan untai semu
                Kini kupaksa untuk tahu
                Meski menepis ‘tuk memahami
                Menguburnya justru mengundangnya semakin dekat

    Indralaya, 03 Mei 2015 






    Memori Luka

    Wahai nestapa
    Pujangga kini melepas sauh
    Panjang perjalanan ia lampaui di terik mentari pun sinar rembulan
                Wahai bola-bola lama
                Berhentilah menyapa
                Liku langkah ini seakan bermuram sepanjang tapak kaki
                Seolah benang pun terlalu tebal melukis pedih di hati
    Wahai lembaran kata
    Biarkan pulang menjadi jalan terakhir dalam segala kisah
    Kembalikan secarik makna yang kau ambil paksa
    Jangan tambahkan pikulan tiap dosa
                Wahai guratan indah
                Menarilah meski kaki patah
                Pun dengan sayap tak terbuka
    Bawa ia melepas memoar penuh darah
    Buang semua jahitan penuh luka
    Kubur segala tangis juga nanah
                Biarkan damai merasuki sekujur tubuhnya
                Hingga benar dan salah selalu menyimpan makna
                Menyisip di antara gangguan jiwa
    Abaikan semu dalam rona pipinya
    Penipu ulung selalu pandai bertingkah
    Ia tak mengapa
    Walau tiap waktu selalu ada kenapa

    Palembang, 04 November 2015






    Asing pada Kata

    Engkau lirihkan kata yang tak kumengerti
    Engkau ucapkan dengan keteguhan nun ketangguhan
    Apakah definisi dari kosakata itu?
                Selalu kudengar di tiap tempat persinggahan
                Berjuta kali kuping ini menangkap eja serupa
                Tak terbilang lidah ini menyebut dalam bait tentangnya
    Diri ini seakan amat dekat dengannya
    Serasa berpeluk dalam detikku
    Namun, mengapa amat asing kala kau bisikkan padaku?
    Mengapa aku seolah tak mengenal?
    Mengapa bibirku bagai mengeja dari dunia yang berbeda?
                Akankah engkau memberi tahu?
                Sediakah dirimu mengenalkan?
                Sudikah engkau mengajarkan?
    Wahai, jiwaku mendesah ketika siuran tanyamu kembali membuncah
    Menahan resah yang kian merubung kepala
    Katamu itu dinamakan cinta

    Palembang, 16 November 2015






    Tertelan Gagal Dunia

    Pada dunia yang temaram
    Ada secuil ringkihan yang perlu diselamatkan
    Kerap menyusup hingga berdegup
                Hanya ilalang sepi yang tak menepi
                Setia menemani nan menghiasi
                Atau mungkin hanya mengasihani
                Sesuatu bergambar seakan mati namun bersembunyi
    Pada dunia yang berayun baka
    Ada sejumput letupan menahan dahaga
    Ada seikat genggam menyulam harapan
    Harus dipertahankan tanpa kefarakan
                Dalam ayu kejora
                Memikat merdu lamunan berintik menderas
                Dari hidup yang ditelan dan ditenggelamkan
                Pada rendah amuk yang diguncangkan
    Masih tersisip keluguan
    ‘tuk berlanjut pada korban kegagalan

    Indralaya, 16 Januari 2016 










    Profil penulis: Nurlaili Ummusnaini, lahir di Palembang pada 22 Desember. Bungsu dari empat bersaudara yang merupakan mahasiswi tahun pertama di salah satu Universitas Negeri di Sumatera Selatan.
    Komentar

    Tampilkan

    Berita Utama