Patri Hampa
Melodiku
tak lagi kumengerti
Menjuntai
beribu tanya
Menusuk
kalbu di antara remang kelabu
Takluk
akan letih hati
Namun
enggan melempar sauh
Menggugurkan
ego dalam benak
Namun
mengekang tak merajut asa
Sajak-sajak
yang mulai memenuhi langit-langit malam
Rembulan
gompal seakan tersedu
Menatap
sedih kejora seribu
Susah
nian kala nanti tak kunjung kembali
Semburat
kemilau aku temukan
Apiku
membara menyadarinya
Sungguh
melodimu membuat keras batu menjadi lapuk
Denting
suara kaca memecah
Cerita
yang tak pernah ada habisnya
Kisah
yang tak akan pernah ada ujungnya
Hingga
semua mengalir
Menyisir
renung diam
Menelusur
kening berlipat
Jua
geletar tubuh terbungkus syahdu
Menarikan
alam sewindu
Indralaya, 10 Januari 2015
Meredam Kata
Menggariskan
huruf dalam gelap
Kekal
lagi malam melingkar
Menjejalkan
mentari di kaki langit
Desau angin bernyanyi sendu
Menampik risau membungkus aksara
Kian mengarang menceracau
Api
merah meredam dendam
Berkeras
tertahan kejam
Ia
rangkaikan barisan data kejang
Sejumput bimbang tengah berkejaran
Meski ia menolak; menutup
Ia kerdilkan memori usang
Kala ditemukan kembali
Nyata bait itu telah memudar; nyaris
tenggelam
Indralaya, 09 Maret 2015
Telah Kukubur, Namun ia Bertandang
Warta
kota menatap cahya
Menghamburkan
kata matematika
Menghangatkan
jiwa membeku dalam ranah kelana
Menaburkan
kenangan yang tak berdusta
Mimpi jenuh kuresap berdesir lagi
paksa
Kutorehkan kalam legam
Nan diukir guratan mengekang
Berharap bulirmu membayang
Duhai,
kala aku renungkan garismu
Ketika
diri ini jenguk kembali temu itu
Kala
itu pula jiwa ini terbang dan tenggelam
Sebongkah
kisah kupaksa ‘tuk terkunci
Namun,
berakhir dengan untai semu
Kini kupaksa untuk tahu
Meski menepis ‘tuk memahami
Menguburnya justru mengundangnya
semakin dekat
Indralaya, 03 Mei 2015
Memori Luka
Wahai
nestapa
Pujangga
kini melepas sauh
Panjang
perjalanan ia lampaui di terik mentari pun sinar rembulan
Wahai bola-bola lama
Berhentilah menyapa
Liku langkah ini seakan bermuram
sepanjang tapak kaki
Seolah benang pun terlalu tebal
melukis pedih di hati
Wahai
lembaran kata
Biarkan
pulang menjadi jalan terakhir dalam segala kisah
Kembalikan
secarik makna yang kau ambil paksa
Jangan
tambahkan pikulan tiap dosa
Wahai guratan indah
Menarilah meski kaki patah
Pun dengan sayap tak terbuka
Bawa
ia melepas memoar penuh darah
Buang
semua jahitan penuh luka
Kubur
segala tangis juga nanah
Biarkan damai merasuki sekujur
tubuhnya
Hingga benar dan salah selalu
menyimpan makna
Menyisip di antara gangguan jiwa
Abaikan
semu dalam rona pipinya
Penipu
ulung selalu pandai bertingkah
Ia
tak mengapa
Walau
tiap waktu selalu ada kenapa
Palembang, 04 November 2015
Asing pada Kata
Engkau
lirihkan kata yang tak kumengerti
Engkau
ucapkan dengan keteguhan nun ketangguhan
Apakah
definisi dari kosakata itu?
Selalu kudengar di tiap tempat
persinggahan
Berjuta kali kuping ini menangkap
eja serupa
Tak terbilang lidah ini menyebut
dalam bait tentangnya
Diri
ini seakan amat dekat dengannya
Serasa
berpeluk dalam detikku
Namun,
mengapa amat asing kala kau bisikkan padaku?
Mengapa
aku seolah tak mengenal?
Mengapa
bibirku bagai mengeja dari dunia yang berbeda?
Akankah engkau memberi tahu?
Sediakah dirimu mengenalkan?
Sudikah engkau mengajarkan?
Wahai,
jiwaku mendesah ketika siuran tanyamu kembali membuncah
Menahan
resah yang kian merubung kepala
Katamu
itu dinamakan cinta
Palembang, 16 November 2015
Tertelan Gagal Dunia
Pada
dunia yang temaram
Ada
secuil ringkihan yang perlu diselamatkan
Kerap
menyusup hingga berdegup
Hanya ilalang sepi yang tak menepi
Setia menemani nan menghiasi
Atau mungkin hanya mengasihani
Sesuatu bergambar seakan mati namun
bersembunyi
Pada
dunia yang berayun baka
Ada
sejumput letupan menahan dahaga
Ada
seikat genggam menyulam harapan
Harus
dipertahankan tanpa kefarakan
Dalam ayu kejora
Memikat merdu lamunan berintik
menderas
Dari hidup yang ditelan dan ditenggelamkan
Pada rendah amuk yang diguncangkan
Masih
tersisip keluguan
‘tuk
berlanjut pada korban kegagalan
Indralaya, 16 Januari 2016
Profil penulis: Nurlaili
Ummusnaini, lahir di Palembang pada 22 Desember. Bungsu dari empat bersaudara
yang merupakan mahasiswi tahun pertama di salah satu Universitas Negeri di
Sumatera Selatan.