masukkan script iklan disini
Oleh Syamsul Hidayah, penikmat media massa, berdomisili di Prabumulih
Media cetak itu tidak perlu dibunuh. Dia akan menggali kuburnya. Dengan sendirinya lalu masuk ke liang lahatnya. Dinisannya tertulis, “Koran Berita Pos : Lahir : 01-01-1901 Wafat : 01-01-2001”.
Media cetak itu tidak perlu dibunuh. Dia akan bubar dengan sendirinya. Dengan sendirinya, satu persatu, jurnalis dan karyawannya mundur. Dan, di depan kantornya, tertulis pengumuman,”Koran Berita Pos Telah Ditutup, Kepada Para Pembaca Harap Maklum,”.
Kini, media cetak berhenti terbit bukan fenemona lagi. Ini sudah menjadi nyata. Media cetak tutup bukan berita baru lagi. Miriplah, berita-berita pencopetan di bis kota, yang saban hari terjadi di depan mata. Ia sudah menjadi sesuatu yang biasa.
Kita tidak perlu menyewa lembaga sekelas Lembaga Survei Indonesia (LSI), mensurvei apakah masyarakat masih membeli media cetak (koran). Coba saja deh, tanya teman-teman Anda. Bila perlu tidak usah ditanya. Lihat saja telepon seluler. Jika ia pegang android, dapat dipastikan, ia bukan termasuk yang rajin membeli koran.
Kini informasi seperti kacang goreng. Mudah diperoleh dan murah meriah. Kita tidak pernah tahu dan bertanya, apakah kacang goreng, itu berkualitas super atau tidak. Belum jadi jaminan, beli kacang goreng di supermarket berkualitas super, mengandung gizi super pula. Lagi pula, ngapain, beli kacang goreng di supermarket, yang jelas-jelas, harganya jauh diatas harga kacang goreng di jalanan. Bukankah, naluri kita selalu ingin yang murah?
Hari-hari ini, mengelola media cetak, ngeri-ngeri sedap. Betapa tidak, musuh media cetak bukanlah sesama media cetak. Musuh media cetak tidak lagi berada di depan. Tapi sudah mengepung dari lima penjuru mata angin. Ada media online, media sosial, media blog, komunitas internet, dan semua yang berhubungan dengan dunia maya. Orang pun dengan mudah membikin semua itu. Mau gratis atau sewa hosting. Anda tinggal pilih. Jika media cetak sempoyongan menghadapi itu, alamat kembali ke paragraf awal di atas.
Jurnalis senior Harian Kompas, Bre Redana, menandai runtuhnya media cetak itu dengan sebutan Senjakala Media Cetak. Satu persatu media cetak berguguran. Ia tidak memandang umur. Media cetak yang sudah berumur, kelelahan sendiri, akhirnya tutup usia. Sementara mereka yang baru mendirikan media cetak, angkat tangan, lalu mundur dengan kepala tegak.
Hari Pers Nasional, yang selalu diperingati setiap 9 Februari, layak menjadi renungan bagi insan media. Di tengah tsunami informasi, yang belum jelas kebenarannya (hoax), insan pers nasional, setidaknya dapat kembali ke “khittah” nya, yaitu informasi harus akurat, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Itulah pembeda pers profesional dengan media sosial.
Kita tidak ingin pers nasional terjebak dalam genderang hoax. Justeru informasi hoax harus dicarikan kebenarannya. Pers, seperti dikatakan Dahlan Iskan, harus menjadi clearing house (menjernihkan) bukan malah memperkeruh. Pers profesional harus menegaskan kepada pembaca, apakah informasi itu hoax atau tidak. Jika ini tidak mampu dilakukan pers, kepada siapa lagi, pembaca berharap kebenaran informasi.
Hari Pers Nasional, yang tahun ini, diperingati di Ambon, seharusnya menjadi momentum, bagi pers, terutama media cetak, untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai etik jurnalisme. Bre Redana mengatakan, medium boleh berubah, tapi nilai jurnalisme selalu abadi. Upaya melakukan cek ricek, cover all side, hipotesa dan terjun ke lapangan, melihat fakta dengan mata kepala sendiri, adalah mutlak kerja jurnalistik. Ini harga mati bagi mereka yang menamakan dirinya insan pers. Ya, harga mati.
Penerapan atas nilai-nilai jurnalisme itu, membutuhkan kompetensi jurnalis yang mumpuni. Keahlian jurnalis dalam mengejar kebenaran informasi akan cepat membuka terang informasi yang dibutuhkan pembaca. Sebab, rendahnya kompetensi jurnalis, sedikit banyak, menurunkan tingkat kepercayaan pembaca.
Hari Pers Nasional, seyogyanya, tidak sebatas seremonial belaka. Perlu gerakan menyeluruh insan pers di tanah air, berkomitmen untuk menjadi penjernih atas ketidakjelasan informasi yang beredar di media sosial.
Apa pun, negeri ini masih membutuhkan pers profesional meski medium penyampaiannya sudah berubah. Kita tentu tidak mau, melihat publik nantinya lebih percaya informasi hoax. Dampak selanjutnya, dapat dipastikan menggangu kenyamanan berbangsa.
Selamat Hari Pers Nasional, Tetaplah Menjadi Pilar Demokrasi di Negeri ini.