Melihat maraknya kasus korupsi di lembaga Negara Republik Indonesia yang begitu masif ternyata berdampak pada lembaga pendidikan di Negara ini. Bukan hanya kalangan Pejabat Publik, Pejabat Lembaga yang sejatinya mengajarkan moral dan kejujuran bagi generasi muda dan calon pemimpin masa depan justeru mempertontonkan perilaku tak terpuji ditengah khalayak ramai.
Perguruan tinggi yang semestinya menjadi garda terdepan membangun dan menumbuhkan budaya antikorupsi ternyata jauh panggang dari api, perguruan tinggi malah menjadi persemaian subur pelaku koruptor. Itu terlihat juga dari disiplin ilmu yang disandang tanpa malu para tersangka kasus koruptor selama ini dimana ada yang bergelar, SH, SE, S.Pd, ST dan lain-lain.
Maka sejurus kemudian mengikut pula para para guru besar dan pejabat perguruan itu menyusul alumnus menjadi tersangka kasus yang sama sebagaimana KPK menangkap Rektor Universitas Lampung Karomani bersama sejumlah pejabat kampus lainnya terkait dengan dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri, Sabtu (20/08/2022) lalu.
Dalam operasi tersebut, tercatat KPK juga menyita barang bukti sekitar Rp4,4 miliar. Dari sini tentu saja kasus ini sangat serius. Dimana selain lingkungannya dikawasan pendidikan, pelakunya juga merupakan pejabat kampus yang sejatinya mengajarkan moral dan kejujuran bagi generasi muda dan calon pemimpin masa depan.
Jika ingin berbicara jujur, Korupsi di sektor pendidikan tinggi mengakibatkan kampus dan pendidik kehilangan dasar legitimasi, sebagai benteng moral bangsa. Dari itu, pejabat kampus harus steril dari perilaku koruptif. Singkirkan semua pejabat kampus yang berpeluang merusak citra perguruan tinggi demi nama besar yang disandang dan marwah dunia pendidikan di Indonesia.
Dari kasus penangkapan Pejabat Kampus Universitas Lampung terlibat Korupsi oleh KPK setidaknya menjadi cermin untuk Perguruan tinggi segera berbenah. Utamanya membenahi sumber atau celah korupsinya seperti penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri bila perlu diaudit secara nasional.
Mengapa diaudit? Sebab proses jalur mandiri cenderung tertutup. Jalur mandiri sepenuhnya menjadi kewenangan rektor. Sebagaimana yang terungkap dalam kasus Univeritas Lampung, KPK menyebut Rektor Unila yang dijabat Karomani saat itu mematok harga Rp100 juta sampai Rp350 juta per mahasiswa jika ingin diluluskan masuk Unila. Nilai yang fantastis bukan?
Maka tak salah jika Jalur mandiri disebut sebagai ladang bisnis dunia pendidikan. Tempat transaksi jual beli kursi yang dihitung berdasarkan kemampuan keuangan, bukan atas dasar kemampuan mahasiswa. Isi dompet yang menentukan, bukan isi kepala. Sungguh memalukan.
Untuk menutup celah korupsi di lingkungan kampus maka perlu sedini mungkin kuota seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dengan kuota yang sebelumnya 20 persen ditingkatkan menjadi 50 persen. Sementara seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) yang sebelumnya 40 persen ditambah menjadi 50 persen dan jalur mandiri dihapuskan.
