Bukan tanpa alasan. Kerusakan parah jalan yang mereka lalui setiap hari semakin menjadi, berlubang di sana-sini, berlumpur saat hujan, dan berdebu tebal ketika kemarau. Sudah bertahun-tahun mereka meminta perbaikan, tetapi suara mereka seperti diterpa angin—hilang tanpa jejak.
Popi, seorang petani yang setiap hari menggantungkan hidup dari hasil kebunnya, berdiri di antara warga yang memblokir jalan. Dengan wajah serius, ia berbicara lantang.
"Kami ini petani, kami butuh jalan untuk membawa hasil panen ke pasar. Tapi lihat sendiri, jalan ini bukan lagi jalan, melainkan jebakan lumpur di musim hujan dan lautan debu di musim kemarau," keluhnya.
Setiap pagi, ia harus melewati jalur ini dengan motor tuanya yang sering mogok karena jalan berlumpur. Tak jarang, ia terpaksa memikul hasil kebun dengan berjalan kaki beberapa kilometer karena kendaraan tak bisa melintas.
Asmuni, warga lainnya, menghela napas panjang. Ia mengaku sudah melaporkan kondisi jalan ini ke berbagai pihak, dari pemerintah hingga tokoh masyarakat. Namun, respons yang diharapkan tak pernah datang.
"Sudah berapa kali kami mengadu? Rasanya sudah capek berharap. Kalau jalan ini rusak, yang susah bukan hanya petani, tapi semua warga desa," katanya sambil menunjuk jalan yang penuh lubang.
Di sudut lain, Satria Darma Wijaya, aktivis lingkungan dan Ketua Posko Rumah Merdeka, memandang aksi warga dengan penuh keprihatinan. Ia sudah lama mengamati bagaimana perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar desa seolah menutup mata terhadap dampak yang mereka timbulkan.
"Saya melihat perusahaan ini hanya mencari untung, tanpa memikirkan warga yang tinggal di sekitar area operasional mereka. Jalan rusak, sungai mulai dangkal, kebun-kebun terendam—ini semua akibat dari aktivitas tambang yang tidak bertanggung jawab" tegasnya.
Menurutnya, ini bukan sekadar masalah jalan. Ada sederet persoalan lain yang tak kalah pelik: janji perusahaan untuk merekrut tenaga kerja lokal yang tak pernah ditepati, kompensasi tanaman warga yang belum dibayar, hingga aliran sungai yang terputus akibat kegiatan tambang.
"Jika perusahaan ini tidak segera bertindak, kami tidak akan tinggal diam. Kami akan tempuh jalur hukum!" ancamnya.
Sementara itu, di kantor Camat Rambang Niru, Ketua LSM Dahsyat, Piche, telah beberapa kali bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk mencari solusi. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan.
"Kami sudah duduk bersama dengan pihak PT CBE dan pemerintah. Kami meminta perbaikan jalan ini dipercepat, serta mendesak perusahaan agar lebih peduli terhadap tenaga kerja lokal. Tapi sepertinya mereka lamban dalam bertindak," katanya.
Ia menegaskan bahwa jika perusahaan terus mengabaikan tanggung jawab sosialnya, aksi warga akan semakin besar dan sulit dikendalikan.
Di tengah semua gejolak ini, Kepala Desa Tanjung Menang, Ferry Tri Harsono, mencoba menjadi jembatan antara warga dan perusahaan. Ia mengakui bahwa pihak perusahaan memang telah melakukan perbaikan jalan, tetapi hasilnya belum maksimal.
"Jalan ini sempit dan kondisinya memang sulit diperbaiki hanya dengan menimbun batu. Kami butuh solusi jangka panjang, bukan hanya tambal sulam," jelasnya.
Pemdes Tanjung Menang telah menjadwalkan pertemuan dengan perusahaan pada 4 Februari 2025. Namun, apakah pertemuan itu akan membuahkan hasil atau sekadar wacana, masih menjadi tanda tanya besar bagi warga.
Saat matahari mulai condong ke barat, warga masih bertahan di titik penutupan jalan. Mereka tahu, perjuangan ini belum selesai.
Popi dan para petani lainnya hanya menginginkan satu hal: jalan yang layak. Bagi mereka, ini bukan sekadar aspal dan batu, melainkan urat nadi kehidupan yang menghubungkan mereka dengan pasar, sekolah, dan rumah sakit.
Sementara perusahaan dan pemerintah berdiskusi di ruang ber-AC, di jalanan berdebu ini, warga terus berjuang. Sebab bagi mereka, tidak ada pilihan lain selain bertahan demi hak yang seharusnya mereka dapatkan sejak dulu*BG7UN