POSMETRO.ID | SURABAYA –SAMSAT, yang sejatinya dirancang sebagai Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap, berdiri dengan tujuan mulia: memudahkan masyarakat dalam mengurus administrasi kendaraan bermotor. Di dalamnya ada tiga institusi penting yang bergabung, yakni Polri melalui Korlantas, Dispenda, serta Jasa Raharja. Harapannya sederhana, masyarakat bisa mengurus pajak, registrasi ulang, hingga penerbitan surat-surat kendaraan dengan cepat dan transparan.
Namun, harapan itu kini justru digantikan dengan cerita kelam. Bukan lagi pelayanan prima yang dirasakan warga, melainkan dugaan praktik pungutan liar yang menggerogoti kepercayaan publik.
Setiap hari, ribuan orang datang ke SAMSAT Manyar di kawasan Surabaya Timur. Ada yang ingin membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), ada pula yang mengurus registrasi ulang lima tahunan, hingga mutasi kendaraan dari luar kota. Sebagian datang sendiri, sebagian lagi mempercayakan proses itu kepada Biro Jasa (BJ).
Di balik antrean panjang dan map-map berkas yang menumpuk, tersimpan kisah yang nyaris seragam: proses cepat hanya bisa terjadi bila ada “biaya tambahan”.
Dalam penelusuran tim jurnalis, muncul satu nama yang kerap disebut para pemohon maupun pelaku biro jasa: Suhud. Ia disebut-sebut sebagai pintu masuk wajib bagi para BJ, termasuk yang merangkap wartawan.
“Semua wartawan yang juga BJ harus lewat saya. Ada biaya yang sudah ditetapkan, dan itu sudah persetujuan atasan,” demikian pengakuan Suhud kepada salah satu awak media.
Tanda tangan Suhud di atas map berkas disebut-sebut menjadi semacam “tiket emas”. Proses yang biasanya makan waktu berbulan-bulan bisa disulap hanya sehari. Tarifnya pun sudah bak menu paket: Rp625 ribu untuk layanan percepatan, Rp375 ribu untuk penerbitan BPKB baru, dan Rp250 ribu untuk percepatan (ACC). Belum termasuk tambahan Rp100 ribu untuk loket mutasi masuk.
Seorang wanita berinisial N, yang mengaku merangkap wartawan sekaligus BJ, membenarkan praktik ini.
“Kalau mau cepat, harus lewat Suhud. Katanya ini perintah bapak komandan. Saya pernah mengurus mutasi mobil, total habis Rp1,6 juta. Semua tanpa kuitansi. Kalau tidak ada biaya percepatan, BPKB bisa terbit tiga sampai enam bulan,” ungkapnya.
N juga menambahkan bahwa perlakuan berbeda diberikan bagi BJ yang bukan wartawan atau anggota LSM. “Nominalnya bisa lebih besar lagi,” katanya.
Selain Suhud, nama lain yang sering terdengar adalah Pak Yek dan Pak Sukur, petugas loket formulir. Semua berkas dari BJ diarahkan ke mereka. Polanya pun seragam: begitu berkas selesai, kode nominal ditulis di map, dan pembayaran ditagih sesuai jumlah yang ditentukan.
Praktik ini tentu mengundang keprihatinan. Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., pengamat kepolisian, menegaskan bahwa tindakan seperti itu jelas melanggar hukum.
“Kalau pungutan liar dilakukan ASN, ada aturan yang mengaturnya. Selain itu, bisa dijerat dengan UU Tipikor. Pungli bukan rezeki, pungli bukan berkah,” ujarnya tegas.
Yang membuat publik bertanya-tanya, mengapa hingga kini tak ada tindakan nyata dari aparat terkait? Tim Saber Pungli, Bid Propam Polri, hingga Dispenda seolah memilih bungkam. Fenomena yang disebut sebagian masyarakat sebagai GERATUM – gerakan tutup mulut, telinga, dan mata – menjadi potret suram penegakan hukum di tanah air.
Dalam sehari, lebih dari 50 berkas melewati meja Suhud. Jika dihitung sederhana, puluhan juta rupiah bisa berpindah tangan hanya dalam satu hari kerja. Angka itu tentu menggiurkan bagi oknum yang bermain, namun menyakitkan bagi masyarakat yang menjadi korban.
SAMSAT yang seharusnya menjadi simbol pelayanan publik kini justru dipersepsikan sebagai ladang pungli.
(Bersambung)