• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Jumat Keramat di Bumi Seinggok Sepemunyian, Ketua KPU Jadi Tersangka Korupsi Dana Hibah Pilkada

    03 Oktober 2025, Oktober 03, 2025 WIB Last Updated 2025-10-03T13:35:46Z
    Masukkan scrip iklan disini


    POSMETRO.ID | PRABUMULIH - 
    Langit sore Jumat (03/10/2025) tampak muram, menyelimuti kota yang biasa dijuluki Bumi Seinggok Sepemunyian. Di halaman Kejaksaan Negeri Prabumulih, ratusan tatapan warga dan jurnalis tertuju pada tiga sosok yang berjalan perlahan keluar dengan kepala tertunduk, tangan diborgol. 



    Mereka adalah MD (Ketua KPU), YA (Sekretaris), dan SA (Pejabat Pembuat Komitmen/PPK). Ketiganya kini telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana hibah Pemikukada Kota Prabumulih 2024.



    Sekedar informasi, penyelidikan kasus ini dimulai pertengahan Awal September 2025, Kejari Prabumulih memanggil lima orang komisioner KPU, sekretaris, dan sejumlah staf sebagai saksi dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Pilkada 2024.


    Dalam pernyataannya, Kasi Pidsus Kejari, Safei SH MH, menyebut kasus telah ditingkatkan dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan sejak 18 September 2025. Ketua KPU Prabumulih Martadinata dalam beberapa pemberitaan juga telah dipanggil untuk memberikan keterangan.



    Meskipun berbagai pihak telah diperiksa, otoritas kejaksaan menekankan bahwa penyidikan belum berhenti kemungkinan tersangka tambahan masih terbuka.


    Meski belum ditemukan data publik spesifik yang menyebut nilai hibah KPU Prabumulih yang dipersoalkan, sejumlah fakta di sekitar anggaran Pilkada 2024 membantu mengokohkan kerangka narasi.


    KPU RI mencatat bahwa total anggaran hibah daerah untuk Pilkada 2024 yang telah dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) mencapai ± Rp 28,6 triliun per 28 Oktober 2024, di mana 99,7% sudah dicairkan.


    Di tingkat kota, pada 2022 KPU Prabumulih sempat mengajukan anggaran sekitar Rp 21 miliar untuk menyokong tahapan Pilkada 2024 melalui dana hibah. Jumlah hibah dan alokasi daerah lainnya untuk KPU/Bawaslu di Sumatera Selatan juga tercantum dalam Keputusan Gubernur Sumsel No. 132 Tahun 2024.



    Kombinasi data pusat dan lokal ini memperlihatkan bahwa hibah pilkada adalah dana publik yang jumlahnya sangat besar dan berpotensi menjadi titik lemah dalam pengawasan.


    Dari penyidikan internal Kejari, dugaan penyimpangan mencakup 20 jenis kegiatan, dengan bengkaknya anggaran terutama pada acara sosialisasi dan peluncuran (launching). Permohonan dana insentif, pembiayaan logistik, dan publikasi tampaknya menyimpan celah kreatif yang digunakan untuk manipulasi anggaran.



    Penelusuran awal menyebut kerugian negara mencapai ± Rp 6 miliar atau sekitar 23% dari dana hibah yang dilaporkan. Angka ini menunjukkan modus nontrivial: bukan sekadar manipulasi kecil, melainkan signifikan dalam ukuran kota.



    Penggunaan dana publik dalam kontestasi politik memang sering disebut rawan korupsi. Menurut ICW (Indonesia Corruption Watch), 11 kasus korupsi dana hibah pilkada telah muncul pada beberapa periode terakhir, dengan total kerugian negara puluhan miliar rupiah.
    Dana hibah Pilkada dianggap “bancakan korupsi” karena kelebihan kebebasan alokasi dan rentannya intervensi politik.


    Lalu mengapa momen penetapan tersangka itu disebut “Jumat Keramat”? Bagi warga Prabumulih yang ikut menyaksikan, Jumat sore itu menjadi simbol bahwa lembaga demokrasi seperti KPU, yang biasa tampak jauh dan sulit dijangkau, akhirnya disentuh juga oleh hukum.



    Dari balik kaca mobil tahanan, wajah Ketua KPU, Sekretaris dan PPK tampak tertunduk, seolah menyandang beban yang tidak ringan. Sementara itu, di luar, banyak mata berharap agar proses ini menjadi penegas: bahwa pejabat penyelenggara pemilu pun tidak kebal hukum.



    Sejumlah warga menyatakan kelegaannya. “Semoga benar-benar diusut tuntas hingga akar, agar tak ada lagi KPU yang bermain di belakang layar” kata Irfan salah satu warga yang berada di halaman Kejaksaan



    Namun skeptisisme juga tak sirna. Karena publik telah terbiasa menyaksikan kasus besar yang “mati di tengah jalan.” Kekuatan politik lokal dan jaringan pasokan anggaran menjadi tantangan tersendiri untuk menjaga agar penanganan kasus berjalan secara adil.


    *Jun M

    Komentar

    Tampilkan

    Berita Utama