Karya: An Najmi
Aral rintang terpatri
melintang, belenggu jiwa yang bahagia, masuk bersama kebingungan yang muncul
dari langit-langit mata, memangu. aku dan doa laksana kesetiaan nyata, di mana
ada dia di sana ada aku, tapi mungkin tuturku terlalu pelan, samar. Sehingga
kuping tuhan tak mampu mendengar, atau langit yang menguburnya bersama awan dan
dijatuhkan lagi ke bumi berbentuk hujan, tangisan-tangisan.
aku dan sekelimet asa
memudar, sudah lapar senyuman, hingga aku ditabrak selaksa konflik, begitu
pelik. Sampai terpejam dalam jerit. Oh, tuhan,
nikmat apalagi yang telah aku dustakan, seperti tempat penampungan dosa
angkara, murka. Tidak, tidak mungkin,
ini hanyalah uji
berbentuk merinding atau dingin yang bekukan hati, membusuk, datang bersama
hipoksi gunung ego tertinggi
ketika langitku tak lagi
pancar hujan, aku bingung tak ketulungan, aku seperti membatu, tak lagi mematuk
rindu, kalbuku dikutuk, pada kemarau tak berkesudah, padahal, saat itu aku
sadar dan berusaha datangkan hujan, dengan segala usaha, sampai aku terbakar
bersama keringnya dedaun yang tak punya ranting pegangan, tak juga memantik
kehidupan
lagi lagi aku
diselamatkan, atas renggut kekufuran, bersama sengat mentari dan keringat,
kucari kehidupan, kutumbuhi sejuta daun, kubuat hutan hujan tropis di hati, aku
mulai senyum diri pada usaha yang terjamah, susah payah berproses, hidup tak
seperti mie instan, cepat jadi pada zat kebinasaan, aku sih mencari yang alami
saja, pada kesederhanaan yang menyehatkan, luputkan teknologi zaman, alibi
bisnis yang cari keuntungan. buntung di ujung kematian.
Prabumulih, 2015
