• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Puisi-Puisi Muhammad De Putra

    21 November 2016, November 21, 2016 WIB Last Updated 2016-11-21T15:00:07Z
    Masukkan scrip iklan disini
    Anak Merantau Dengan Menunggangi Sepatu
    :-: Galih Anton

    aku ingin merantau bersama
    sepatu yang kutunggangi,
    saat hari-hari tak mampu
    memangutku dengan egois.
    bila pagi aku harus rela meninggalkan
    hal-hal yang kupunya meski tiada,
    ataupun kala malam aku harus
    menapaki bumi saat Tuhan
    dan manusia perang kutukan.

    anak berangkat siang, saat hari
    tak benar-benar gamang.
    hal-hal yang menakutkan
    pun kunjung hilang.

    semua ini kulakukan setelah akrab
    berteman sunyi di mana-mana.
    aku bosan, sarang laba-laba
    adalah selimutku yang hangat
    dan jembatan bergoyang
    adalah atapku yang akan runtuh.
    sebab itulah aku merantau.

    syukurlah siang ini begitu lama.
    tapi hal-hal yang kusedihi adalah
    sepatuku, ia makin koyak moyak
    tiap detiknya. sepertinya sepatu tua
    mulai tergenang peluhku,
    ataupun terbanjir serapahku
    yang keluh. akan pakai apa aku merantau?

    anak yang merantau dengan
    menunggangi sepatunya, mulai renta.

    bersemangatlah aku dengan
    hasrat merantau. aku menjadi
    tubuh yang berjalan dengan kehendakan
    kakiku yang telanjang,
    ada atau pun tiadanya
    figur sepatu yang menunggangi.

    Taman Sastra | 2016


    Tentang Seorang Anak yang Meracau
    Sambil Bermain Layang-layang Koran di Kala Senja
    :-: Ardiansyah Nur

    //
    Melayang saat senja adalah
    hulu berbagai ikhwal pencarian
    tempat dimana tak ada yang
    mendengarkan segala jenis bahasa.

    ][
    Anak itu membelah sepi langit,
    dengan sebilah layang-layang korannya
    pada saat orang-orang belum benar menutup mata.
    senja membuat waktu merasa muda,
    sementara jingga tak segenap luruh
    meski dengan sayup-sayup Adzan
    terdengar samar tanpa di ketahui muasal segala arahnya.
    Si anak dengan layang-layang koran tetap melayang.

    //
    Adakah bahasa yang membisukan kata?
    mungkin seperti dua belas angka di jarum jam
    yang tak mengajarinya mengeja waktu.
    senja setengah telanjang, berhadapan surya
    yang mulai kadaluarsa,
    dengan sedikit redup anak-anak semesta.

    ][
    Saat langit tak lagi terang dengan warna
    jingga bekas lilin-lilin padam semesta.
    anak itu mengelupaskan koran-koran
    di layang-layangnya yang entah terputus dimana.
    sambil mencari arah angin
    dan mendongak langit bertanya waktu.

    Dengan koran-koran bekas yang menutup mulut
    ia mencari senja berikutnya mungkin untuk mengerti,
    bahwa diam adalah pembelajaran untuk tetap berjalan,
    meski dengan peta delapan mata angin yang tersesat,
    ia tetap mencari di senja mana layang layangannya
    tersangkut jingga yang tak padam-padam.

    Senja Sastra | 2016

    Celana Kematian
    :-: Joko Pinurbo

    takkah kausedih bila melihat aku mati
    dalam keadaan telanjang,
    hanya berbalut oleh malu dan dosa
    yang terlampau sulit untuk kujahit.

    sudah malam ketiga
    aku tak kunjung jua diundang untuk ke akhirat,
    tak ada satupun malaikat yang menyuruh aku
    masuk ke dunia: surga atau neraka.

    lalu kaudatang membawakan aku suhuf-suhuf diri
    untuk menutup kemaluanku yang sangat memalukan: celana.

    mengenakan celana buatanMu
    tiba-tiba aku langsung naik ke surga

    Kamar Sastra | 2016


    Melihat Kematian Dondang Rindu

    lahirlah engkau dengan melihat letak matahari
    yang menerangimu merangkul seni.
    saat orang-orang berkomat-kamit membicarakan
    karya-karyamu yang belum di terbitkan paru-paru kecil.

    matamu adalah bahasa yang sempurna. maka pandanglah!
    saat engkau mengingat wajah kalimat pada sebuah kertas kecil
    yang memalaskan buta kata-kata di mata ibu.
    kaupernah mengajarkan ibu membaca karya-karyamu.
    sehingga membuat kami menunggu setiap menit usai,
    untuk kembali mengenangmu di tanggal-tanggal tertentu.
    mungkin seperti tanggal kelahiran

    terdiam dengan rasa sesak di paru-paru.
    engkau ingin merasa tenang, saat menyelesaikan
    karya-karya terakhirmu yang semakin menumpuk
    di ingin-inginmu di ketinggian angan yang sampai.

    kebutaan aksara ibu hampir saja membisukan mulutmu
    yang mengangakan lubang suara, yang mulai kaku.
    diam-diam buku akan menjadi tumor paru-paru.
    mungkin engkau akan tetap bertahan dibawah langit
    yang berkomat-kamit memujimu seperti dulu.
    memelihara perihal sajak yang takkan
    mungkin mampu menyelamatkan.

    aku membelikanmu obat-obatan sajak.
    namun engkau menangkalnya, katamu
    "aku sakit sebab sastra, pun takkan ada
    seseorang yang sempurna dalam dunia sastra."
    kubiarkan kaumenikmati penyakit yang mengendap jiwamu.

    kita sama-sama setuju memilih hari ini
    sebagai hari terakhirmu. dengan paru-paru
    yang rusak dan mata yang akan buta aksara
    tetesan keturunan ibu. aku menguburmu
    dengan doa yang tak dibuat-buat.

    bolehkah aku berziarah di pemakamanmu
    yang mendendangkan rindu. sambil bertanya
    "tanggal berapa aku kembali melihatmu?"

    Rindu Sastra | 2016

    Mengugurkan Rahasia
    :-: Adimas Imanuel

    Rahasia kaugugurkan lewat
    angin layaknya awan yang
    terus bernaung di kemegahan
    langitnya sendiri. Ia tergugur
    seperti daun-daun jatuh pada
    kolam ingatan.

    Suatu kala kauakan memungut
    rahasia yang jatuh, angin  yang
    kauhembus menggugurkan seluruh,
    hingga takkan mungkin burung-
    burung nafsu menerbangkannya
    kembali.

    Aku sembunyikan seluruh rahasia
    yang aku percaya akan luruh di
    kaki-kakimu. Dan penyesalan
    pada gugurnya segala
    jenis hal-hal yang mulai bosan
    pada gantungannya, tak ubahnya daun.

    Kau akan tetap membuang dan
    menggugurkan rahasiaku yang
    tengah tergantung di atas awan
    dan melayang-layang bersama
    angin, aku tahu kau siapa:
    pesawat tanpa pilot yang terbang
    terus mengusik kepala.

    Terbang Sastra | 2016

    Tangan Waktu

    “Kutinju usiamu,
    akan aku buat kaumemar
    dalam luka-luka waktu.
    takkah kaulihat gepalan tanganku ini?”

    ah kadang di situ aku merasa sakit
    saat aku berusaha
    untuk menenangkan tanganmu
    yang kadang liar
    menerima kebahagiaanku
    memahami hidup.

    pagi ini kaumeminum kopi dalam cangkir bibirku
    siangnya kaumenonton film komedi di mataku yang sayu
    jangan-jangan malam ini kau akan membunuhku
    menusuk segala kesakitan ini oleh tanganmu yang berurat

    uh lebih baik kuambil saja tanganmu
    agar aku tak mati dalam dekapan
    dan aku akan menjadi
    manusia bertangan empat:
    dua tanganku
    dua tangan waktu, tangan-tanganMu

    Gubuk Sastra | 2016

    Kematian

    jangan katakan padaku mati itu gelap
    meski kauberani menghadapinya
    dengan penuh rasa percaya diri
    yang  kausebarkan pada bunga-bunga
    persandingan nisan

    mati itu penuh pertimbangan, kataku
    seperti yang kaukatakan mati itu gelap,
    akan aku pastikan mati itu indah
    bila kaumenyalakan lampu bathinmu
    yang sempat mati
    dalam ketabahan airmata keluarga
    yang mengatakan mereka tak percaya.

    engkau sesungguhnya tak membutuhkan
    apa-apa untuk mati, cukup bawalah hal-hal
    yang kaubutuhkan untuk hidup di sana,
    mungkin seperti pahala, atau sepercik doa keluarga.
    atau juga kau bisa membawaku,
    aku yang akan menyaksikanmu
    dalam keadaan tegang ketika nanti cambuk
    Malaikat itu melukaimu,
    bisa juga cambuk itu melukaiku.
    kita akan mati bersama dalam keadaan gelap,
    meski kepercayaan bathinmu sedang mati lampu.

    Bahagia Sastra | 2016

    Ziarahi Aku
    :-: Joshua Igho

    di tanah ini, sepi menyeruak
    di tiap-tiap nisan tetanggaku.
    yang sungguh musykil
    menerima segala doa untuk
    kujadikan pisau masa lalu,
    untuk mengasah ketajaman kilaunya
    yang sungguh silau.

    “Aku ingin kaukuburi aku,
    di samping kuburan…!” katamu
    “Kuburan siapa?” tanyaku

    tanah ini. tanah kemerahan yang
    menerima tanda penuh luka.
    banyak luka disini,
    banyak sekali.

    tanah ini, tanah ziarah
    segala jenis luka.
    bekas luka sangat mudah
    berbaur: pada tubuhku,
    tubuhmu,
    mungkin juga pada tubuh Tuhan.

    akan kukubur dirimu:
    di sampingku
    dan di samping Tuhan.
    tapi kapan-kapan jangan ajak
    Tuhan untuk ziarahi aku.
    sebab aku malu, telah terkubur
    di tanah yang penuh luka.

    Taman Sastra | 2016

    Anak dalam Neraka

    anak dalam neraka akan lebih senang
    oleh air mata kecemasannya yang cengeng.
    orang-orang bahagia pasti akan mendengar tangisannya.

    “Nak, bahagiakah hidupmu?”
    “bahagia sekali, Bu.
    aku bermain waktu bersama iblis-iblis
    dan teman-temanku yang berdosa,
    bermain angka-angka kelahiran,
    dan bermain petak-umpet kematian.”
    “Bolehkah aku ikut, Nak.
    Aku ingin bermain bersamamu?”

    Anak dalam neraka tersenyum,
    menggedor-gedor pintu hatinya
    yang panas dan demam.
    Ibu ingin membawanya
    pada kehidupan yang benar-benar hidup.

    “biarkan aku menjadi manusia yang lambat tumbuh
    dan besar di neraka ini, Ibu.
    aku telah bahagia,
    aku tak ingin kemana-mana.
    apalagi, kedunia dimana orang-orang bahagia
    jauh lebih berdosa ketimbang para iblis-iblis
    yang bermain bersamaku.”

    Dunia Sastra | 2016

    Rusakkah anak?

    ][
    anak bukanlah robot terlanjang dari perabot daur ulang.
    yang mengikuti lama proses putar dari lingkaran kehidupan.
    kebersamaan ini sama saat rintik air hujan mengenai wajah
    kotak milik mereka, mengeluarkan air mata listrik yang
    entah milik sakelar mana.

    ][
    anak-anak itu hidup dengan keadaan cacat, dengan ada
    atau tiadanya tangan, kaki atau tubuh yang terbengkalai.
    tapi, anak memiliki hati. di seluruh sekolah pabrik mereka
    menjadi mahkluk Tuhan paling rusak. dengan hati yang
    Mungkin milik robot-robot yang wafat.

    ][
    maka, setiap akan di lahirkan anak-anak dari rahim
    benda-benda berkarat. mereka akan berdoa pada tuhan.

    "rusakkanlah kami!"

    Rumah Sastra | 2016


    Muhammad de Putra. Kelahiran 14 April 2001. Siswa kelas VIII SMPN 6 Siak Hulu, Kampar. Puisi-puisi telah tersebar di pelbagai Media Massa di Indonesia.  juara 1 lomba Cipta Puisi di Bulan Bahasa UIR tingkat SMP se-Indonesia, Juara 1 Cipta Puisi di Praktikum Sastra UR tingkat SMP se-Riau, Harapan 2 Lomba Cipta Cerpen di Bulan Bahasa UIR tingkat SMP se-Indonesia & Juara 1 Lomba Cipta Puisi tingkat Nasional seluruhnya Penyair Muda yang ditaja oleh Sabana Pustaka. Bukunya yang telah terbit Kepompong dalam Botol & Timang Gadis Perindu Ayah Penanya Bulan, Sedang meramu buku puisi tunggalnya yang ke-3 Hikayat Anak-anak Pendosa. Puisinya juga termaktub dalam beberapa antologi seperti: Merantau Malam (Sabana Pustaka, 2016), TeraKota (Liliput, 2015), Tunak Community Pena Terbang (COMPETER). Berdomisili di Pekanbaru. Bisa di hubungi Nomor HP:  085271544896, dan melalui FB: Muhammad De Putra



    Komentar

    Tampilkan

    Berita Utama