Jumat dini hari Kemarin saya dari Rumah kawan di bilangan Basuki Rahmat Kota Palembang. Dari siang, saya meminta bantuannya sebagai navigasi untuk sebuah urusan yang agak sedikit ribet. Kebetulan bulan ini Pemprov Sumsel menggelar program pemutihan pajak kenderaan bermotor dan gratis pula untuk pengurusan bea balik nama (BBN) bagi kenderaan yang menunggak pajak diatas satu tahun, (kalau tidak salah baca sih).
Si Kawan tadi saya mintai pertolongan untuk menunjukkan alamat pemilik kenderaan R4 pertama atau yang biasa disebut disini "tangan pertama" pemilik kenderaan yang saya kenderai sekarang kebenaran beralamat di Palembang. Tujuannya tak lain ingin meminta foto copy KTP yang bersangkutan dan kebutuhan lain menyangkut pembayaran pajak, mutasi, dan BBN Mobil ini.
Singkat cerita, segala urusan yang seharusnya selesai hari ini tidak berjalan lancar karna kami gagal menemui tangan pertama pemilik mobil ini. Alamat si tangan pertama meski sudah ditemukan namun sayang yang bersangktan tidak berada di tempat. Salah seorang penunggu rumah mengaku Empunya rumah sedang di luar kota dan baru senin besok pulang ke rumah.
Rasanya dengan situasi yang tidak bersahabat seperti ini tak ada pilihan lain selain mencoba langsung ke Kantor Samsat. Paling tidak di Samsat nanti sampaikan saja hal yang sesungguhnya, syukur-syukur Petugas disana maklum dengan situasi yang terjadi. Atau setidaknya cari upaya lain agar dokumen pajak dan BBN bisa segera diproses.
Namun apalah daya, perkiraan yang kita rencanakan ternyata tidak selalu sesuai dengan ekspektasi di angan-angan. Petugas Samsat baru bisa memproses dokumen jika keseluruhan data pendukung sudah lengkap.
Gagal lagi nih. Opsi kedua juga tak mampu meluluhkan hati sang petugas untuk memproses dokumen kenderaan padahal segala bujuk rayu sudah saya lakukan. Lalu? Iya pulang saja atau cari tempat istirahat menjadi pilihan tepat ketimbang harus membuang waktu percuma di kantor samsat. Diteriakkan juga toh tak ada guna sebab data pendukung sebagai syarat mutasi kenderaan juga belum lengkap. Mending cari tempat yang bisa membuang lelah seperti cafe yang menyediakan live musik sambil ngopi dan sesekali menyanyikan lagu tembang kenangan. Assekkk.
Setir mobil pun saya putar seraya menginjak pedal gas menuju salah satu Cafe tongkrongan anak muda di kawasan Sudirman. Sebagai wartawan dan penulis, biasanya laptop tak pernah jauh-jauh dari saya. Dan sebagaimana kebiasaan saya jika berada di cafe-cafe seperti ini, saya selalu menyempatkan waktu untuk membuka email melalui laptop melihat kiriman berita dari kawan-kawan untuk ditayangkan di Website Portal Berita Posmetro.co.id. Atau paling tidak biar sedikit lebih keren seolah-olah kita ini orang-orang penting saat dilihat orang sedang berada dibelakang laptop gitu. hahahaha.
Desain Cafe yang kami duduki saat ini memang asik sebagai tongkrongan anak muda. Wajarlah ramai, karna makanannya selain tidak menguras kantong, juga sangat enak. Demi menjaga kearifan lokal, berbagai ornamen khas palembamg tidak lupa disematkan pada dinding-dinding cafe. Begitu juga penganan pembuka seperti Pempek. Selalu disajikan meski tidak dipesan oleh pengunjung. Mungkin untuk mempertahankan khas nuansa Palembangnya agar tidak punah.
Sembari menunggu pesanan diantar, Sesekali saya dan Heru berdiskusi tentang pekerjaannya yang kemarin nyaris di PHK karena Covid-19. Katanya alhamdulillah sejak awal bulan oktober 2020 lalu dia sudah kembali bekerja seperti biasa. Perusahaan ia bekerja tampaknya lebih memilih mempekerjakan kembali karyawannya dengan segala resiko yang ada ketimbang harus mengeluarkan biaya pesangon PHK puluhan karyawan.
Banyak sudah yang kami Obrolkan. Agar tidak monoton dan membosankan, waktu berlalu kami selingi dengan bernyanyi. Gitar yang sengaja disediakan empunya Cafe di sudut ruangan saya mainkan mengiringi lagu terpendam yang saya bawakan. Suara melengking khas Medan saya menggema di penjuru Cafe memaksa pengunjung mengarahkan pandangan ke arah kami berdua. Jadilah kami sebagai pusat perhatian para tamu malam ini meski dengan modal bakat bernyanyi yang pas-pasan. Entah nadanya yang kebetulan pas atau fals, lirik lagu The Mercys "Dalam Kerinduan" sengaja saya teriakkan lantaran dari tadi kami hanya bisa mengikuti lagu yang dibawakan tamu pengunjung cafe didalam hati saja. Waktu terus berlalu. Di Cafe ini banyak sudah yang kami bahas dengan Heru. Termasuk rencana menjual tanah milik orang tuanya untuk membeli mesin percetakan sebagai langkah persiapan usaha ketika ia benar-benar di PHK dari perusahaan.
Asik ngobrol dan bernyayi akustikan kami nyaris lupa waktu sudah menunjukkan tengah malam. Beruntung Heru megingatkan agar kami segera pulang.
-------------------------------------------------------------------
Mobil Lama keluaran 1990 untuk sekarang usianya tentu sudah tua. Selain tua tentu saja Mobil ini agak sulit dikendalikan, apalagi untuk orang yang baru lulus mengemudi dijamin akan merasa aneh saat mengemudi mobil jenis yang satu ini. Beruntungnya saya sudah paham menyangkut kelebihan serta kelemahannya saat berlari di jalan raya maupun di jalan berlumpur. "Suzuki Jimny" begitu para penggemar biasa menyebutnya seolah menghilangkan nama Suzuki Katana yang menempel di bagian body sebelah kanan mobil ini.
Nah ceritanya bermula saat saya berada di lajur kiri jalan raya simpang patal menuju fly over Simpang Polda untuk pulang ke Prabumulih. Tiba-tiba cerita berada disini karna barusan saja mengantar Heru ke rumahnya. Waktu itu jarum jam tepat berada di angka 02.00 dini hari. Keadaan Mobil yang saya kenderai saat itu sangat berfungsi dengan baik dan sesekali mobil ini bahkan mampu menyalip kenderaan lain yang berada di depannya.
Tepat di sekitaran Diskotek ternama di jalan Basuki Rahmat, musibah nyaris menimpa malam saya. Mobil Jimny yang saya kemudikan hampir saja menambrak sebuah Mobil minibus yang agak ragu-ragu keluar menuju Jalan Raya. Saat itu saya berjalan lurus, minibus itu justru memaksa untuk keluar dari pagar diskotik menuju jalan raya. Sontak Ban depan mobil buruk saya ini berhenti mendadak searah pedal rem saya injak dengan spontan. Tanpa merasa bersalah pengemudi mobil itu langsung berlalu meninggalkan saya yang spot jantung sendirian tanpa kawan.
Lolos dari tragedi kecelakaan, kembali saya injak Pedal Gas memaksa mobil melaju dengan kencang mengejar Mobil minibus tadi. Kurang ajar sekali dia, kataku. Berhasil melewatinya, dengan spontan mulut saya teriak umpatan terkenal di Palembang ini dengan keras pada pengemudi didalam minibus tadi. Umpatan itu juga disertai dengan omongan kasar lainnya tanpa sengaja sebagai bentuk kekesalan memuaskan amarah.
Seolah menyadari kesalahannya, Sopir minibus itu pun melambatkan laju kenderaanya perlahan menepi dan memberi ruang untuk saya melewatinya. Didalam perjalanan, emosional sesaat saya masih membara dan sempat berpikir untuk mengajak pemilik kenderaan itu berkelahi saja malam ini. Atau paling tidak memaksanya untuk berhenti dan meminta maaf atas kesalahannya barusan.
"Karna kalau saja tadi saya tidak cekatan menginjak rem, mungkin mobil saya satu-satunya ini akan beristirahat dengam waktu yang cukup lama. Yang pasti masuk bengkel. Iya kalau si pengemudi tadi mau bertanggungjawab menanggung biaya bengkelnya. Kalau tidak, masih aku tulah yang rugi" gerutu saya dalam hati.
Mendekati Simpang Polda, dari kaca sepion sebelah kiri saya melihat dengan samar mobil itu oleng dan nyaris menabrak mobil yang terparkir di tepi jalan lalu berhenti. Senada dengan dia, saya juga behenti dan menoleh ke belakang. Iya ampun dia tiba-tiba muntah. Apa dia sedang terserang penyakit mendadak?
Melihat itu, Nurani kemanusiaan saya tiba-tiba muncul meredakan amarah yang sempat memuncak. Tanpa aba-aba ba-bi-bu, gigi perseneling yang tadinya masih posisi maju ku ubah menjadi mundur mengarahkan kemudi mendekati mobil pengemudi yang baru saja mengeluarkan sebagian isi perutnya itu dari mulut.
Semakin saya mendekat ke arah mobilnya, dan masih melalui kaca sepion, kembali saya terperangah melihat nomor polisi (Nopol) kenderaan itu. Pelatnya dua angka dengan kode Kenderaan Pemerintah berhuruf terakhir Z. Untuk mengelabui masyarakat, pemilik kenderaan tampak sengaja menyamarkannya seolah kenderaan pribadi dengan mengganti warna merah pada tulisan pelat menjadi putih.
Yang lebih membuat saya terkejut boskuh, saat mengetahui sang sopir kenderaan dinas pemerintah itu adalah seorang pejabat teras esselon II.
Melihat itu, nurani kemanusiaan saya seketika menjelma sebagai seorang Jurnalis Investigasi. "Lapang" kata yang pasti keluar dari mulut kawan kawan seprofesi kalau hal ini saya beritakan. Memori otak saya perlahan beroperasi mengulang sebuah peristiwa sebelumnya dan mencoba mengungkap bagaimana sosok pejabat dan kenderaan ini bisa keluar dari Diskotik tengah malam dini hari. Dugaan pun muncul kalau orang itu tidak sedang terserang penyakit mendadak melainkan sedang mabuk berat seusai berpesta minuman keras. Rasa kesal dari nyaris kecelakaan akibat ulahnya lambat laun muncul juga di benakku. Apakah sebaiknya peristiwa malam ini saya liput untuk segera diterbitkan besok pagi di media sebagai balasan atas peristiwa nyaris tabrakan tadi?
Atau sebaiknya catat saja nomor kenderaanya serta merekam dia yang sedang mabuk berat dan muntah lalu videonya dikirim ke inspektorat agar besok dia disidang kode etik ASN. Jika itu berlanjut pasti orang ini akan dipecat atau bisa jadi diberhentikan sebagai Kepala Dinas di Instansinya. Atau rekam saja secara live melalui media sosial agar ulah tidak terpujinya keluar dari diskotik lalu muntah ditengah jalan dilihat oleh semua orang?
Memori di otak saya berkecamuk menyimpulkan suatu kasus diantara nurani dan profesi yang membutuhkan sebuah keputusan cepat juga bijaksana dan akurat untuk segera disepakati dengan damai terkait tindakan apa yang harus diambil malam ini.
Disuatu titik, memori otak saya tiba-tiba mengirim perintah ke organ hati, apa yang saya terima kalau dia dipecat akibat dari sebuah pemberitaan. Bagaimana nasib keluarganya kelak kalu dia benar-benar dipecat? Iya kalau dia hanya seorang diri. bagaimana pula kalau ia seorang yang merupakan tulang punggung dari keluarga besar?
Pertanyaan lain pun muncul. Bagaimana jika seandainya peristiwa malam ini saya terbitkan di media tetapi dia tidak di berikan sanksi atau dipecat?
Secara wartawan lama, dengan kebiasaan berfikir lama juga, menyebabkan rencana pemberitaan penting pun terlewatkan. Tanpa saya sadari, sosok pengemudi dengan kenderaan milik Pemerintah itu sudah kembali berjalan. Hal itu saya ketahui sesaat setelah ia membunyikan klakson Mobilnya seolah memberi tahu ia sudah pulih dan ingin melanjutkan perjalanan. Nah sudah.. rencana berita seru besok pagi hilang tanpa bekas, kataku.
Begitu, saya masih termenung didalam mobil menunggu keputusan dari sebuah pertempuran imajinasi antara nurani dan profesi tadi yang tak kunjung tiba. Dengan memilih untuk tidak meliput peristiwa tadi memang sedikit membuat saya agak lebih tenang. Karna sebelumnya juga dia telah saya umpat kata kasar meskipun sebenarnya hal itu sangat tidak pantas saya lakukan mengingat profesi saya sebagai wartawan. Tapi biarlah, toh wartawan kan juga manusia biasa kataku menghibur diri. Setidaknya dengan umpatan yang saya lontarkan bisa menyadarkan dia kalau perbuatannya tadi bisa membahayakan orang lain.
Keputusan tidak meliput kejadian tadi, menurut saya adalah hal yang tepat. Karna saya menyadari betapa berat tekanan yang dialami sesorang ketika satu kesalahan kecil diekspose ke media. Karna banyak pertimbangan atau alasan yang masuk akal sehingga seseorang bisa berada dalam situasi yang tidak pada tempatnya. Tidak ada yang diuntungkan dengan mempublikasikan hal semacam ini di media kecuali saya berusaha untuk melakukan tindakan yang melanggar kode etik dengan memeras dan mengancamnya demi segepok uang haram.
Kesimpulan sederhananya adalah, Bahwa selalu ada konsekuensi dari pilihan yang kita putuskan, dan tidak selalu ada waktu yang cukup untuk mempertimbangkan segala konsekwensi dari sebuah kebijakan.
Harapan saya, suatu saat nanti saat bertemu dengan dia maka yang pertama dia lakukan ke saya pasti minta maaf karna saya sangat kenal dengannya. Kemudian saya akan menasehatinya untuk tidak mengulang kejadian yang sama. Dan beruntung sekali wartawan yang melintas adalah saya. Jika yang lain mungkin saat ini dia tidak lagi menjabat kepala dinas atau jika saja saya tak ingat dia punya keluarga mungkin sekarang dia sudah dipecat.