POSMETRO,ID | BANYUASIN
-Musi Banyuasin (MUBA) – Proyek pembangunan Jalan Tol Palembang, Sumatera Selatan menuju Tempino, Jambi yang digarap oleh PT Wira Agung (WA) sebagai vendor dari PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI) tengah menjadi sorotan. Perusahaan tersebut diduga belum mengantongi sejumlah izin penting, namun tetap menjalankan aktivitasnya sejak beberapa bulan terakhir di Desa Bukit Jaya (C3), Kecamatan Sungai Lilin.
Menurut informasi yang dihimpun, PT WA diduga belum memiliki izin lingkungan (UKL-UPL), izin Kementerian PUPR, izin dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), izin tambang (Galian C), hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP) pelintasan tanah milik perusahaan tambang batu bara PT Bara Mutiara Prima (BMP). Material tanah timbunan untuk proyek tersebut bahkan diduga bersumber dari lokasi galian ilegal.
Ketika dikonfirmasi, Muhron, Kepala Proyek PT HKI, menyampaikan melalui pesan WhatsApp bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan terlebih dahulu. "Ya, nanti akan kami cek dulu," ujarnya singkat.
Sementara itu, Tedi Setiawan, Manager PT Wira Agung, saat ditemui di Rumah Makan Sate Lampung Srigunung, mengakui bahwa izin perusahaan masih dalam proses. "Waduh... belum keluar izinnya," ungkapnya.
Ketua Puja Kesuma Kabupaten Musi Banyuasin, Gianto Wicaksono, mengecam keras dugaan pelanggaran ini. "Semestinya perusahaan yang beroperasi di Bumi Serasan Sekate harus memiliki legalitas yang lengkap. Jika belum, aktivitasnya harus dihentikan dulu," tegas Gianto.
Ia juga mempertanyakan potensi kerugian negara akibat aktivitas ilegal tersebut, terutama terkait retribusi Galian C. "Setiap satu meter kubik Galian C wajib membayar Rp 4.500 ke negara. Jika izin tidak ada, saya kira ini berpotensi merugikan negara dan Pemkab Muba. Ini sama saja tindakan korupsi," imbuhnya.
Lebih lanjut, Gianto menegaskan bahwa aktivitas tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 dan/atau Pasal 161 jo Pasal 35 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. "Pelakunya bisa dipidana hingga 10 tahun penjara dan didenda paling banyak Rp 10 miliar," jelasnya.
Ketua LSM Pemerhati dan Pemantau Pembangunan Daerah (P3D) Sumatera Selatan, Adi, menyatakan pihaknya siap melaporkan masalah ini kepada instansi terkait. "Kami akan mengajukan laporan, termasuk ke DPRD Provinsi Sumsel, agar perusahaan tersebut dipanggil dan mempertanggungjawabkan perbuatannya," tutupnya.
Proyek besar ini kini berada dalam sorotan publik, menanti tindakan tegas dari pihak berwenang untuk memastikan segala aktivitas berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
EDITOR: Tim redaksi