POSMETRO.ID | PRABUMULIH - Setiap menjelang Lebaran, ada satu tradisi yang tak pernah terlewatkan yakni menukar uang baru untuk dibagikan kepada sanak saudara, terutama anak-anak. Lembaran uang pecahan yang masih kaku dan wangi menjadi simbol kebahagiaan, bagian dari budaya berbagi yang telah mengakar kuat di masyarakat. Namun, tahun ini, tradisi tersebut tak lagi semudah dulu.
Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem baru, di mana masyarakat yang ingin menukar uang harus terlebih dahulu mendaftar melalui aplikasi. Alih-alih mengantre langsung di bank, mereka kini harus memastikan kuota tersedia dan mengikuti jadwal yang ditentukan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan di bank serta memastikan distribusi uang pecahan lebih merata.
Namun, perubahan ini justru menimbulkan keluhan di kalangan masyarakat. Banyak yang merasa kesulitan mengakses aplikasi, terutama mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi. “Saya sudah mencoba daftar, tapi sulit sekali. Begitu masuk, kuota sudah penuh. Padahal, saya hanya ingin menukar uang untuk keponakan dan anak-anak,” keluh Boru Humbang, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Prabumulih.
Tak hanya itu, bagi warga yang sudah lanjut usia atau tinggal di daerah dengan akses internet terbatas, sistem ini menjadi tantangan tersendiri. “Orang tua saya biasanya menukar uang di bank dekat rumah, tapi sekarang harus pakai aplikasi. Mereka tidak paham cara menggunakannya,” ujar Rudi, seorang karyawan swasta.
Di sisi lain, pihak perbankan menilai kebijakan ini sebagai langkah maju dalam mendigitalisasi layanan perbankan. “Sistem ini dibuat agar lebih tertib dan menghindari antrean panjang. Dengan pendaftaran online, kami bisa memastikan masyarakat mendapatkan uang baru sesuai kebutuhan tanpa berebut,” kata salah satu pegawai bank yang enggan disebutkan namanya.
Namun, bagi masyarakat yang tak bisa mengakses aplikasi, tradisi menukar uang baru kini terasa semakin sulit. Beberapa akhirnya mencari alternatif, seperti menukar uang di pedagang atau jasa penukaran yang sering muncul di pinggir jalan menjelang Lebaran—meski dengan potongan biaya tertentu.
Di tengah kebijakan baru ini, satu hal tetap tak berubah: kebutuhan akan uang pecahan menjelang Lebaran tetap tinggi. Bagi banyak orang, bukan sekadar lembaran uang yang diberikan, tetapi juga kebahagiaan dan kebersamaan yang terkandung di dalamnya. Mungkin, di masa depan, pemerintah bisa memberikan solusi yang lebih inklusif agar semua lapisan masyarakat tetap bisa menjalankan tradisi ini tanpa hambatan*Jun