POSMETRO.ID | MOJOKERTO – Puluhan petani Desa Sumber Girang, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, mendatangi Satreskrim Polres Mojokerto pada Senin (15/9/2025). Mereka mempertanyakan nasib laporan dugaan penyelewengan pembayaran lahan pertanian yang sudah dilayangkan hampir setahun lalu, namun hingga kini tak kunjung menunjukkan perkembangan.
Sekitar pukul 09.20 WIB, rombongan petani memasuki gedung Satreskrim dan menyampaikan maksud kedatangannya di ruang lobi. Mereka berharap bisa bertemu langsung dengan Kanit Pidum atau Kasat Reskrim. Namun, hanya penyidik yang menangani perkara tersebut yang menemui mereka. Enam orang petani kemudian dipersilakan masuk untuk mendengarkan penjelasan.
Menurut keterangan salah satu petani, penyidik menyebut proses hukum masih berjalan dan pihak pembeli telah dipanggil untuk dimintai keterangan. Namun hingga saat ini, para petani mengaku tidak mengetahui siapa pembeli sebenarnya. Pasalnya sejak awal transaksi, mereka tidak pernah diperkenalkan kepada pihak pembeli oleh panitia yang disebut-sebut berasal dari perangkat Desa Sumber Girang.
Kasus ini bermula dari proses pembebasan lahan pertanian di Dusun Sumberjo, Desa Sumber Girang. Pada 10 Februari 2020, disepakati harga Rp600 juta per petak. Kesepakatan tersebut disahkan Kepala Desa Sumber Girang, Siswayudi. Namun, kenyataannya para petani hanya menerima Rp200 juta hingga Rp250 juta.
Merasa dirugikan, para petani melapor ke Polres Mojokerto pada 19 November 2024 dengan nomor laporan: LI/552/XI/RES/1.11./2024/SATRESKRIM. Sayangnya, hingga kini mereka mengaku tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum.
Sebelumnya, para petani sempat memberi kuasa kepada salah satu lembaga bantuan hukum (LBH). Namun, karena kinerja dinilai tidak sesuai harapan, mereka mencabut kuasa tersebut. Sayangnya, pimpinan LBH menolak menandatangani surat pencabutan kuasa, sehingga membuat posisi hukum petani semakin rumit.
Di hadapan awak media, para petani mengaku bingung dan merasa tidak mendapatkan keadilan. Ironisnya, ketika mereka mencoba meminta pertanggungjawaban panitia, justru dilaporkan balik dengan tuduhan memasuki pekarangan tanpa izin serta pencemaran nama baik. Proses hukum laporan balik itu bahkan berjalan cepat, berbeda dengan kasus yang mereka laporkan.
“Dalam satu bulan setelah adanya laporan dari pihak panitia, Polsek Puri sudah memanggil puluhan saksi. Sementara laporan kami yang sudah hampir setahun belum jelas perkembangannya. Kalau begini, kemana lagi rakyat kecil harus mencari keadilan?” keluh salah satu petani.
Upaya wartawan untuk mengonfirmasi langsung kepada Kasat Reskrim Polres Mojokerto juga tidak membuahkan hasil. Meski berada di ruang kerjanya, yang bersangkutan menolak ditemui*dho