POSMETRO.ID, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Tito Karnavian, menyoroti rendahnya realisasi pendapatan sejumlah daerah dalam evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Dalam pemaparannya, Kota Prabumulih tercatat sebagai kota dengan persentase realisasi pendapatan terendah se-Indonesia.
“Kota Prabumulih menjadi yang terendah se-Indonesia,” ujar Tito dalam pemaparannya di Jakarta, belum lama ini.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, realisasi pendapatan Kota Prabumulih tercatat 59,67 persen hingga triwulan III tahun 2025, sedikit di bawah Kupang (59,78%) dan Sorong (60,02%). Namun, Pemerintah Kota Prabumulih menegaskan bahwa angka tersebut belum mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Menanggapi rendahnya realisasi pendapatan APBD, Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Prabumulih Wawan Gunawan menjelaskan bahwa, rendahnya persentase realisasi pendapatan dalam data Kemendagri disebabkan oleh belum diperhitungkannya pendapatan non kas daerah, yaitu dana yang langsung ditransfer ke satuan kerja perangkat daerah (OPD), unit pelaksana teknis daerah (UPTD), atau aparatur sipil negara (ASN) yang bersangkutan.
“Data yang dipakai Kemendagri belum memperhitungkan pendapatan non Kas Daerah yang langsung ditransfer ke OPD, UPTD, atau ASN. Contohnya Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan guru, tambahan penghasilan (Tamsil) Guru, hingga BOK puskesmas,” jelas Kepala BKD Prabumulih menjawab POSMETRO.ID, Kamis (23/10/2025).
Menurutnya, apabila seluruh pendapatan non kas tersebut dihitung, maka realisasi pendapatan Kota Prabumulih per 20 Oktober 2025 sudah mencapai 67 % atau setara Rp789,41 miliar dari target tahun berjalan.
“Hal ini bahkan sudah kita jelaskan kepada Bapak Walikota melalui Sekda Kota Prabumulih. Artinya posisi Prabumulih tidak serendah yang digambarkan. Begitu, Kami terus berupaya agar hingga akhir tahun realisasi bisa melampaui 90 persen,” tambahnya.
Saat ditanya sistem pelaporan keuangan daerah saat ini masih berfokus pada kas yang masuk ke rekening kas umum daerah (RKUD), sementara dana yang langsung disalurkan dari pemerintah pusat ke instansi terkait tidak otomatis terhitung sebagai pendapatan daerah, Pria yang akrab disapa Wawan itu mengungkapkan bahwa, pendapatan yang lewat kas daerah harus dicatat manual atas permintaan OPD yang bersangkutan ke BPKAD melalui surat pengesahan pendapatan & belanja (SPPB).
"Yang tidak lewat kasda harus dicatat manual atas permintaan OPD Terkait ke BPKAD melalui SPPB. Kalau lewat KasDa medianya SPP, SPM, SP2D. Ke depan, Sebaiknya ada rekon secara kontinyu dengan Kementerian terutama untuk pendapatan non kasda agar data yang digunakan pusat lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di daerah" paparnya.
Sementara itu, untuk realisasi tertinggi tingkat pemerintah kota, tercatat Kota Banjarbaru mencapai 87,99 persen, disusul Denpasar (82,19%) dan Banjarmasin (81,95%).
Ditempat terpisah, Pengamat kebijakan publik Pohan Maulana, SE menilai perbedaan angka ini menjadi momentum penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menyelaraskan data keuangan. “Sering kali data pusat berbeda dengan daerah karena perbedaan format pelaporan. Harmonisasi data keuangan ini penting agar penilaian kinerja daerah lebih adil dan akurat,” pungkasnya.
*Jun M
