Oleh : Jun Manurung
Pemimpin Redaksi
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke enam smelter timah hasil sitaan negara di Bangka Belitung tentu saja bukan sekadar inspeksi biasa. Di balik tumpukan pasir timah yang selama ini dianggap limbah tambang, tersingkap sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu kandungan monasit, mineral ikutan yang menjadi sumber utama unsur tanah jarang (rare earth elements).
Inilah momentum penting saat Indonesia mulai menyadari bahwa kekayaan mineral Nusantara bukan hanya soal timah dan nikel, tetapi juga tentang logam-logam strategis masa depan yang akan menentukan arah peradaban baru bernama Tanah Jarang.
Dari laporan yang dirilis oleh Detikcom, nilai ekonomi monasit yang ditemukan di smelter rampasan Kejaksaan Agung tersebut mencapai angka fantastis. Diperkirakan, satu smelter bisa menghasilkan hingga 4.000 ton monasit, dengan nilai pasar mencapai USD 200.000 per ton. Artinya, jika dikelola serius, kekayaan ini bisa bernilai triliunan rupiah jauh melampaui nilai timah itu sendiri.
Ironisnya, selama puluhan tahun, pasir sisa pengolahan timah itu justru dibiarkan menumpuk, bahkan sebagian besar dibuang tanpa nilai tambah. Padahal di sanalah terkandung unsur neodimium, praseodimium, dan disprosium, bahan dasar magnet super kuat untuk motor listrik, turbin angin, hingga satelit pertahanan.
Indonesia tak boleh lagi hanya menjadi “penonton” dalam rantai industri global. Dunia kini tengah berlomba mengamankan pasokan tanah jarang karena perannya yang vital dalam energi hijau dan teknologi tinggi. Cina telah menguasai lebih dari 70 persen produksi global, membuat negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, mencari sumber baru.
Dengan potensi tanah jarang yang tersebar di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi pemain utama baru asal tidak mengulangi kesalahan lama: mengekspor mentah dan membeli kembali dalam bentuk produk jadi berteknologi tinggi.
Namun tentu saja perjalanan menuju “kedaulatan mineral” ini tidak mudah. Pengolahan tanah jarang membutuhkan teknologi pemisahan kompleks dan pengawasan lingkungan ketat. Proses ekstraksi menggunakan bahan kimia yang, bila tak dikendalikan, bisa mencemari tanah dan air.
Selain itu, tata kelola tambang dan pengawasan hukum harus diperketat. Pemerintah perlu memastikan bahwa pengelolaan mineral strategis tidak kembali menjadi lahan praktik korupsi atau penyelundupan. Smelter hasil sitaan negara yang kini dikelola kembali oleh PT Timah Tbk harus menjadi contoh transparansi dan efisiensi pengelolaan aset negara.
Tanah jarang bukan sekadar mineral, ia adalah simbol pergeseran zaman. Dunia sedang bergerak menuju energi bersih, dan logam-logam tanah jarang adalah fondasinya. Jika Indonesia mampu menguasai rantai produksinya dari hulu hingga hilir, maka masa depan industri nasional akan berubah.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Bangka Belitung sejatinya bukan hanya tentang pemeriksaan aset rampasan, melainkan juga penanda babak baru dalam sejarah pertambangan Indonesia. Dari timah menuju tanah jarang, dari penambang menuju penguasa teknologi.
Kini tinggal bagaimana negara hadir secara nyata, memastikan kekayaan ini tidak lagi jatuh ke tangan asing atau segelintir elit, melainkan menjadi sumber kemakmuran bangsa secara menyeluruh.
Sudah saatnya Indonesia tidak hanya bangga karena kaya sumber daya, tetapi juga bijak dalam mengelolanya. Di bawah timbunan pasir timah tersimpan masa depan bangsa. Dan di tangan kebijakan yang tepat, “tanah jarang” itu akan menjelma menjadi tanah harapan.