• Jelajahi

    Copyright © POSMETRO.ID
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kriminal

    Kronologi dan Akar Konflik PT GRUTI di Parbuluan VI

    11 November 2025, November 11, 2025 WIB Last Updated 2025-11-11T11:38:24Z
    Masukkan scrip iklan disini




    Liputan Investigasi – Dairi


    Konflik sosial yang terjadi di Desa Parbuluan VI, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, bukan peristiwa yang muncul tiba-tiba. Ketegangan antara sebagian masyarakat dan pihak yang menolak keberadaan PT Gunung Raya Utama Timber (PT GRUTI) telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan kini mencapai titik paling rawan.

    Menurut catatan lapangan, akar persoalan bermula dari izin operasional kehutanan dan pengelolaan hutan produksi yang dikantongi PT GRUTI. Sebagian masyarakat Desa Parbuluan VI merasa wilayah kerja perusahaan tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Sementara pihak perusahaan menegaskan bahwa seluruh aktivitasnya legal dan berizin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).


    Perselisihan pun semakin tajam. Sebagian warga menolak aktivitas perusahaan karena khawatir akan kehilangan lahan dan sumber mata pencaharian. Di sisi lain, ada juga warga yang mendukung kehadiran perusahaan dengan alasan dapat membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi lokal.

    Ketegangan mulai memanas sejak awal Oktober 2025, saat kelompok masyarakat penolak GRUTI melakukan aksi protes di sekitar area konsesi. Situasi sempat terkendali hingga akhirnya pada 20 Oktober 2025, Kepala Desa Parbuluan VI, Parasian Nadeak, mengirimkan surat resmi kepada Polres Dairi untuk meminta perlindungan hukum, setelah menerima informasi akan ada aksi penyerangan.


    Namun, permohonan itu tidak segera mendapat respons. Beberapa hari kemudian, terjadi penyerangan dan perusakan rumah Kepala Desa serta fasilitas di sekitar lokasi PT GRUTI. Sejumlah saksi mata menyebut massa berjumlah puluhan orang datang pada malam hari membawa senjata tajam dan batu.


    Peristiwa itu menimbulkan kepanikan. Warga yang pro terhadap kehadiran perusahaan akhirnya memilih meninggalkan rumah. Sebagian mengungsi ke rumah kerabat di luar desa, dan sebagian lainnya kini menempati Gedung Olahraga Sidikalang yang disediakan Pemerintah Kabupaten Dairi.


    Hingga berita ini diturunkan, belum ada satupun pelaku penyerangan yang diamankan oleh Polres Dairi. Kondisi inilah yang memunculkan kritik tajam terhadap aparat penegak hukum. Beberapa tokoh masyarakat menilai aparat cenderung lamban dan terkesan abai dalam memberikan perlindungan, padahal ancaman sudah diketahui sejak jauh hari.


    “Konflik sosial seperti ini semestinya bisa dicegah kalau polisi bertindak cepat. Ketika korban sudah mengungsi, itu tanda bahwa hukum gagal melindungi,” ujar Lembaga Kajian Sosial dan Hukum Sumut dalam pernyataan tertulis yang diterima POSMETRO.ID.

    Selain kerugian materi, konflik ini menyisakan trauma mendalam bagi warga. Anak-anak mengalami gangguan tidur, sementara para orang tua dihantui rasa takut akan penyerangan susulan. Aktivitas pendidikan di desa berhenti total, dan roda ekonomi lumpuh karena warga tak berani kembali ke ladang.


    “Bagi kami yang tinggal di pengungsian, malam terasa sangat panjang. Kami hanya ingin hidup tenang di tanah kami sendiri,” ungkap salah seorang warga yang kini mengungsi di GOR Sidikalang.


    Sebagai bentuk tindak lanjut, Kepala Desa Parbuluan VI telah melayangkan surat resmi ke Polda Sumatera Utara untuk meminta perhatian dan perlindungan hukum yang lebih serius. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat proses hukum sekaligus mencegah konflik horizontal yang lebih luas.


    Polda Sumut diharapkan segera membentuk tim investigasi independen guna mengungkap akar konflik, menelusuri potensi pelanggaran hukum baik dari pihak masyarakat maupun perusahaan, serta memastikan bahwa tidak ada keberpihakan dalam penegakan hukum.


    Pengamat Hukum Sumatera Utara, Dr. Iskandar Nasution, SH., MH., menegaskan bahwa negara tidak boleh absen dalam setiap bentuk konflik sosial, apalagi yang telah menimbulkan korban dan pengungsian.

    “Ini bukan sekadar konflik warga dengan perusahaan. Ini sudah masuk dalam ranah tanggung jawab negara untuk melindungi hak hidup, rasa aman, dan hak atas keadilan,” ujarnya.

    Menurutnya, Polres Dairi memiliki kewajiban hukum untuk melindungi setiap warga negara tanpa pandang bulu, serta menegakkan supremasi hukum dengan langkah konkret.


    Kini, warga Parbuluan VI masih menunggu langkah nyata dari kepolisian dan pemerintah daerah. Mereka tidak menuntut lebih, hanya ingin hukum ditegakkan, dan hak mereka sebagai warga negara dihormati.

    Di tengah udara dingin Sidikalang malam hari, seorang bapak paruh baya yang kehilangan rumahnya hanya bisa berbisik lirih.

    “Kami hanya ingin pulang. Tapi biarlah nanti, setelah hukum benar-benar berani berdiri di pihak yang benar.”


    *M 03 LA

    Komentar

    Tampilkan

    Berita Utama