POSMETRO.ID | PRABUMULIH – Di balik narasi “kemesraan politik” yang ramai diperbincangkan publik, Ketua DPRD Kota Prabumulih, H. Deni Victoria, SH., M.Si, akhirnya angkat suara. Sosok yang kini kerap terlihat satu frame bersama Walikota Prabumulih, Ir. H. Arlan, membantah bahwa kebersamaan mereka semata-mata lahir dari kepentingan politis. “Ini bukan soal romantisme kekuasaan, tapi sinergi membangun kota,” ujarnya tenang.
Beberapa waktu terakhir, publik dibuat penasaran dengan pemandangan yang tak lazim: dua mantan rival politik yang kini tampak begitu akrab. Seolah-olah tidak pernah berdiri di kubu yang saling berhadapan dalam Pilkada. Bahkan dalam beberapa agenda, kehadiran DV—sapaan akrab Deni Victoria—bersama sang Walikota, terasa seperti sebuah paket kepemimpinan baru yang tak resmi tapi nyata.
Namun menurut Deni, ada hal yang lebih penting dari sekadar simbol keakraban: kerja nyata di lapangan.
“Off-road itu bukan gaya-gayaan. Kami turun langsung ke lokasi penggarapan lahan gratis yang programnya dijalankan oleh pemerintah kota. Jalan ke sana tak bisa ditempuh kendaraan biasa, jadi kami gunakan mobil off-road. Saya datang sebagai Ketua DPRD, untuk memastikan program itu betul-betul berjalan. Saya ingin lihat sendiri dampaknya ke masyarakat,” jelasnya kepada POSMETRO, Rabu (11/6/2024).
Kemesraan yang terlihat di ruang publik, menurut DV, lahir dari kesadaran bahwa membangun kota tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Terlebih, kondisi fiskal daerah tidak sedang dalam posisi ideal. APBD terbatas ditengah kebutuhan rakyat dan pembangunan yang terus meningkat.
“Kalau kami tidak menyatu, tidak komunikasi, bagaimana bisa membangun? Ini bukan masa untuk saling menjatuhkan. Ini masa untuk saling menopang,” kata Deni, sambil menegaskan bahwa sinergi tidak berarti membiarkan fungsi pengawasan DPRD melemah.
Bagi sebagian orang, ketidakterdengaran kritik tajam DPRD dianggap sebagai hilangnya fungsi kontrol. Namun Politisi Partai Demokrat itu punya jawaban lain.
“Kritik itu bisa dalam banyak bentuk. Tidak semua harus lewat mikrofon di paripurna. Tak banyak yang tak tahu, bagaimana kami berdiskusi keras dalam rapat kerja, bagaimana kami beri masukan soal anggaran, soal rencana program kerja pemerintah yang dijanjikan kepada masyarakat dan harus diwujudkan. Itu semua berjalan. Tapi kami tidak menjadikan perbedaan sebagai panggung,” ujarnya.
Di tengah gencarnya pembangunan dan dinamika fiskal yang ketat, ada ancaman baru yang harus diantisipasi: beban gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang akan dibebankan penuh kepada APBD. Bagi DV, inilah saatnya eksekutif dan legislatif bekerja sebagai satu tim.
“Beban ini tidak ringan. Maka kami harus kreatif. Perlu sinergi dalam mencari dukungan dari pusat, memperkuat PAD, dan menghindari pemborosan. Kalau kita hanya sibuk ribut, kapan majunya kota ini?” katanya.
Lebih jauh, Ketua DPC Partai Demokrat itu melihat bahwa kolaborasi politik bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap rivalitas masa lalu. Melainkan proses pendewasaan dalam demokrasi lokal. Ia percaya, perbedaan pendapat tetap harus ada, namun tidak menghalangi upaya bersama membangun masa depan Prabumulih.
“Bagi saya, rivalitas adalah bagian dari demokrasi. Tapi setelah pemilu selesai, kita harus kembali menjadi pelayan rakyat. Kalau saya dan Cak Arlan bisa duduk bersama, itu karena kita punya tujuan sama: mensejahterakan warga Prabumulih,” tegasnya.
Deni memahami bahwa publik selalu punya pandangan atau penafsiran. Ada yang mengapresiasi kedewasaan politik, ada pula yang curiga pada kedekatan yang dianggap terlalu “harmonis.” Tapi baginya, selama hasil dari semua ini adalah pembangunan yang menyentuh masyarakat, maka itu adalah jawaban terbaik.
“Kalau publik bertanya, itu wajar. Dan jawaban saya adalah: mari kita lihat hasilnya. Lihat jalan yang diperbaiki, lihat lahan yang digarap, gedung dan aset daerah terbengkalai difungsikan, peningkatan pelayanan, pembenahan birokrasi, mengupayakan peningkatan PAD. Itu ukuran sebenarnya,” pungkasnya.
Di tengah isu “romantisme kekuasaan,” Narasi Ketua DPRD ini menjadi angin segar bagi mereka yang menuntut akuntabilitas. Bahwa politik, di tangan mereka yang bersungguh-sungguh, bisa menjadi ruang kolaborasi tanpa kehilangan fungsi dan arah.
Karena pada akhirnya, yang lebih penting bukanlah seberapa dekat mereka terlihat — tapi seberapa jauh mereka membawa kota ini melangkah*Jun Manurung