POSMETRO.ID | PRABUMULIH - Jarum jam tepat menunjukkan pukul 10.15 Wib saat penulis tiba di Acara Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Kota Prabumulih. Di antara deretan peserta UKW yang memenuhi aula Fave Hotel Prabumulih, Rabu (19/11/2025), seorang lelaki berambut memutih tampak duduk sedikit terpisah. Tangannya sesekali meremas ujung meja, matanya berusaha menatap lembar soal di depannya. Lelaki itu adalah Tris September (71) wartawan senior yang memilih ikut UKW kategori Wartawan Muda, bukan demi gengsi, tetapi demi satu hal sederhana yakni ingin tetap menjadi wartawan yang benar.
Di usianya yang jauh melewati usia mayoritas peserta, Tris tidak datang membawa ambisi besar. Ia datang membawa cerita hidup yang panjang, luka yang belum sembuh, dan seorang anak kecil berusia delapan tahun yang menunggunya pulang di rumah. Anak itu, putri bungsunya, adalah alasan mengapa ia masih bertahan menjadi wartawan.
Perjuangan Tris yang terekam Penulis bahkan diawali dari sebelum UKW berlangsung. Selasa malam (18/11/2025), setelah diajak seorang peserta untuk bergabung di Hotel Vista Prabumulih guna bertemu dan mengobrol ringan serta bersilaturahmi dengan para penguji, Tris menyempatkan diri datang meskipun malam itu cuaca sedang hujan. Ia tidak ingin dianggap tidak sungguh-sungguh mengikuti UKW besok dan terus menerobos hujan malam itu untuk hadir di Hotel Vista.
Namun waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.00 ketika pertemuan selesai. Di luar, gerimis masih turun perlahan. Jalanan masih mulai sepi oleh kendaraan, tapi Tris memilih berjalan kaki. Dari Hotel Vista yang berdiri tegak di Jalan Jenderal Sudirman, ia menapaki trotoar basah menuju Alai Batu, tempat tinggalnya.
Meski beberapa peserta sempat menawarkan tumpangan, Tris selalu menolak dengan halus. "Ngobrol-ngobrollah dulu, gak apa-apa. Anak saya… sendirian di rumah. Saya harus segera pulang.” ujarnya getir.
Gerimis malam itu menyatu dengan langkah seorang ayah yang memikul dua peran sekaligus. Tris adalah duda. Istrinya telah pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya dengan anak kecil yang masih membutuhkan pelukan seorang ibu. Maka bagi Tris, pulang lebih penting daripada sekadar ngobrol kosong di hotel Vista malam itu.
Keesokan harinya yakni hari pertama. UKW dimulai dengan suasana penuh ketegangan. Peserta menyiapkan laptop, berkas, dan mental. Namun Tris membawa sesuatu yang tak dimiliki peserta lain: kecemasan seorang ayah yang meninggalkan anak kecil di rumah.
Dalam beberapa sesi, tangannya terlihat bergetar. Matanya kerap kosong beberapa detik sebelum ia kembali membaca soal atau menyusun naskah berita. Sempat ada penguji yang menegurnya pelan, memastikan apakah ia baik-baik saja. Tris mengangguk, meski sorot matanya memberi jawaban berbeda.
Tris berusaha keras. Ia menulis, bertanya, berdiskusi. Ia mencoba membuat tubuh tuanya bekerja sekuat peserta lain yang jauh lebih muda. Namun beban hidup memang terkadang membuat otak tak bisa menyalip waktu.
Hari terakhir, Saat hasil UKW diumumkan, puluhan peserta lain menahan napas. Sebab hari ini juga nasib peserta ditentukan lulus atau tidak memenuhi standar kompeten dalam UKW ke 49 kali ini. Tris terpantau duduk dengan punggung yang sedikit membungkuk, seperti tahu apa yang akan terjadi. Dan benar saja, namanya sepertinya menjadi salah satu dari 10 wartawan yang tidak lulus hari itu.
Beberapa peserta menoleh ke arahnya, bahkan ada yang tampak menahan haru. Tris hanya menundukkan kepala selama beberapa detik. Tidak lama, ia tersenyum kecil, paksa, tetapi tulus. “Tidak apa-apa… mungkin nanti saya coba lagi,” katanya pelan.
Kalimat sederhana itu justru membuat dadanya terasa semakin berat. Tidak ada ekspresi kecewa yang dramatis. Tidak ada kemarahan. Yang ada hanyalah keikhlasan seorang lelaki tua yang tahu betul bahwa hidup memang tidak selalu berpihak.
Ironisnya, justru kegagalannya itulah yang membuat Tris September dikenang oleh para peserta lain termasuk penulis. Ia menjadi cerita yang beredar di lorong hotel, di antara tawa gugup peserta yang penuh ketegangan, hingga di sudut ruangan panitia.
Diluar Hotel bahkan beberapa wartawan ada yang berbisik. "Malunya kita kalau tidak ikut UKW. Lihatlah Mang Tris… usia 71 saja masih mau belajar."
Katakanlah Tris September tidak lulus.
Tapi ia menang di tempat lain. Ia menang sebagai simbol perjuangan bagi wartawan yang masih ragu ikut UKW. Ia menang sebagai contoh bahwa profesi wartawan bukan hanya tentang kecerdasan, tetapi juga keberanian menghadapi penilaian.
Tris September menang sebagai teladan bahwa senioritas tidak berarti apa-apa tanpa kerendahan hati untuk diuji kembali.
Sore itu, setelah acara ditutup, Tris tidak menunggu lama. Ia merapikan kertasnya, menyimpan pena tuanya, lalu berdiri perlahan. Beberapa peserta menyalami, sedikit bercengkrama dan bergurau.
Saat ia berjalan keluar hotel, langkahnya terlihat mantap. Tidak ada air mata di wajahnya, mungkin karena ia sudah terlalu sering kehilangan dalam hidup, sehingga gagal UKW hanyalah batu kecil di jalan panjang yang sudah ia tempuh.
Di luar hotel, angin sore berhembus ringan.
Tris menarik napas panjang dan berkata lirih, lebih kepada dirinya sendiri "Yang penting anak saya baik-baik saja. Saya akan coba lagi nanti."
Dan di situlah, di ujung langkah pria tua itu, tersimpan pesan yang lebih penting daripada sertifikat kompetensi manapun:
Bahwa menjadi wartawan bukan tentang usia, bukan tentang nilai, tetapi tentang hati yang tetap ingin belajar dan melayani kebenaran, meski dunia tidak selalu memberi jalan mudah.
Itulah kisah Tris September. Bukan sekadar peserta UKW. Tetapi perjuangan hidup yang berjalan di antara gerimis, kegagalan, dan cinta seorang ayah.
*Jun Manurung/Lipsus/Prabumulih
