POSMETRO.ID | PALOPO – Polemik pembangunan sejumlah bangunan yang menyerupai villa di kawasan Gunung Buntu Tabaro, Kota Palopo, kembali mencuat ke permukaan. Persoalan ini mengemuka setelah pemangku hak ulayat adat mendatangi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palopo untuk mempertanyakan legalitas aktivitas pembangunan di kawasan tersebut.
Kepala Bidang Tata Lingkungan DLH Kota Palopo, Husni, menegaskan bahwa hingga saat ini pihaknya tidak pernah menerima dokumen lingkungan terkait pembangunan yang disebut telah menghasilkan sedikitnya empat unit bangunan di kawasan pegunungan tersebut.
“Saya di sini sejak 2023, dan sejak itu kami tidak pernah menerima satu pun dokumen lingkungan, apalagi Amdal. Yang pernah turun ke lokasi hanya Asisten I,” ujar Husni saat ditemui (13/12/2025).
Husni menjelaskan, berdasarkan keterangan pemangku hak ulayat adat, lahan yang dikelola berada di kawasan hutan lindung dengan status hutan adat. Sejak dahulu, kawasan tersebut hanya diperbolehkan untuk aktivitas terbatas yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat adat.
“Pemangku hak ulayat adat menegaskan kepada kami bahwa kawasan itu tidak boleh dikelola untuk bangunan,” kata Husni.
Ia juga menyebutkan adanya satu nama yang dikabarkan memiliki keterkaitan dengan pengelolaan lahan di kawasan Gunung Buntu Tabaro. Namun demikian, Husni menegaskan bahwa tanpa dokumen lingkungan yang sah, setiap bentuk aktivitas pembangunan di kawasan tersebut berpotensi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seiring mencuatnya polemik tersebut, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lamasi serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sulawesi Selatan didesak untuk mengambil langkah tegas guna memastikan kepatuhan terhadap aturan kehutanan dan tata ruang.
Operator UPT KPH Lamasi, Anil Taufiq, menjelaskan bahwa kawasan Gunung Andoli—yang berada dalam satu hamparan dengan Gunung Buntu Tabaro—secara administratif masuk dalam tiga wilayah, yakni Kelurahan Lebang, Kecamatan Wara Barat; kawasan Salobulo di Kelurahan Pattene, Kecamatan Wara Utara; serta Kelurahan Balandai, Kecamatan Bara.
Menurut Anil, berdasarkan peta resmi Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), kawasan tersebut masuk dalam kategori Areal Penggunaan Lain (APL).
“Masyarakat boleh mengelola APL, tetapi tidak dapat memiliki secara penuh dan tetap harus mengikuti ketentuan tata ruang yang berlaku. Penetapan kawasan merupakan kewenangan BPKH, kami hanya mengacu pada peta resmi,” jelas Anil.
Ia menambahkan, Gunung Buntu Tabaro telah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palopo. Oleh karena itu, setiap bentuk pembangunan maupun pemanfaatan ruang di kawasan tersebut wajib mengantongi izin resmi serta mematuhi ketentuan tata ruang daerah.
Secara ekologis, kawasan Gunung Buntu Tabaro berada dalam satu hamparan dengan Gunung Kajuangin dan Battang yang memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas lingkungan Kota Palopo.
Sementara itu, isu yang berkembang di tengah masyarakat menyebutkan telah berdiri sejumlah bangunan yang menyerupai villa di kawasan pegunungan tersebut. Namun hingga kini, kejelasan mengenai legalitas perizinan pembangunan bangunan-bangunan tersebut masih menjadi tanda tanya.
Pewarta: Fadly
